Saya selalu teringat peristiwa epik pada cerita masyhur Mahabharata. Kisah Drupadi selalu memberi gambaran mengenai betapa ironis kekerasan seksual dan betapa tidak kuasanya kita.
Kisah Drupadi adalah cerita lama yang mengandung getir dan menampar rasa kemanusiaan kita. Setiap kasus kekerasan seksual hingga kekerasan terhadap perempuan secara umum membuat saya selalu ingat cerita tragisme Drupadi.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Apa yang dilakukan Drupadi dengan protes dan teriakan itulah yang membuat kita harus belajar tentang kekerasan seksual maupun kekerasan terhadap perempuan secara umum.
Kekuasaan laki-laki pada akhirnya harus tunduk dan takluk pada ketidakberdayaan saat perempuan disakiti, dilecehkan, dan menjadi korban.
Peraturan, norma, etika, serta batas-batas kehidupan itu pada akhirnya harus diterobos, dilanggar, diabaikan oleh laki-laki sebagai pelaku kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ketika kekerasan seksual terjadi terhadap perempuan, kita diajak merenungi mengapa kekuasaan laki-laki yang memiliki mitos lebih kuat daripada perempuan justru merendahkan perempuan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 September 2024. Penulis adalah penulis buku berjudul Penjara Perempuan (2022))
Pada awal juli 2024, perhatian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Surakarta terfokus pada kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswi yang dilakukan dosen pembimbing. Dosen pembimbing mengadakan bimbingan di luar kampus, di rumah sang dosen.
Di rumah sang dosen itulah, mahasiswi dilecehkan dengan dielus pahanya dan sang dosen minta dipeluk. Di kampus yang sama ada dosen terbukti melakukan pelecehan seksual dengan melakukan chat mesum terhadap mahasiswi.
Kasus pelecehan seksual ini menjadi headline Koran Solopos selama beberapa kali sampai ada sanksi dari rektorat universitas itu pada pelaku kekerasan seksual atau pelecehan seksual itu.
Kasus ini sempat viral di media sosial sehingga menggerakkan empati dan kepedulian mahasiswa untuk berdemonstrasi dan menuntut dua dosen pelaku kekerasan seksual itu mendapat sanksi tegas.
Pada 20 Juli 2024, Rektor Universitas Muhammadiyah Surakarta memberikan pernyataan dan memutuskan memberhentikan dosen yang bersangkutan. Sementara untuk kasus kedua, dosen tersebut diturunkan jabatan strukturalnya dan menjadi tenaga administratif selama dua tahun.
Kekerasan terhadap perempuan selalu timbul karena “dominasi maskulin”. Pierre Bourdieu mengatakan bahwa kejantanan adalah gagasan yang sangat relasional yang dibangun di depan dan untuk laki-laki lain dan melawan keperempuanan dalam semacam rasa takut terhadap perempuan, pertama-tama pada diri sendiri.
Menurut Bordieu (2010), pada dasarnya virilitas merupakan kapasitas reproduktif yang bersifat seksual, bisa menggunakan kekerasan bisa juga tidak (Bourdieu, 2010). Virilitas dibagi menjadi dua ranah, yaitu ranah seksual dan ranah sosial.
Ranah seksual ditunjukkan dengan bentuk/kondisi fisik tubuh. Di sisi lain, ranah sosial ditunjukkan dengan kekerasan/pertarungan untuk menunjukkan legitimasi kejantanan dalam masyarakat.
Dalam kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual, analisis Bordieu tepat untuk membaca dominasi laki-laki terhadap perempuan (korban). Korban seolah-olah tak kuasa menolak bimbingan skripsi di luar kampus karena faktor kebutuhan dan faktor dominasi laki-laki (pelaku) sebagai dosen.
Dosen dalam strata kelas sosial dianggap lebih tinggi dibanding mahasiswa. Perempuan dalam kasus pelecehan seksual sering tidak memiliki kuasa atas tubuhnya sendiri. Ketika terjadi kasus pelecehan seksual terhadap perempuan, perempuan sering tidak memiliki kuasa melawan dan dalam posisi yang kalah.
Mereka tidak memiliki kuasa (pengetahuan) bagaimana mereka harus melawan sampai pada tidak kuasa memberikan hukuman terhadap pelaku yang membuat dirinya mengalami perasaan traumatis.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, Pasal 6a menjelaskan pelaku bisa dihukum penjara empat tahun atau denda maksimal Rp50 juta.
Aturan yang dibuat oleh rezim patriarki sering menyisakan perasaan tidak adil bagi perempuan. Pada posisi inilah sebenarnya perempuan tidak kuasa atas tubuhnya sendiri dan selalu kalah.
Pada kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampus, perempuan bahkan tidak diajak bermusyawarah tentang hukuman yang pantas dijatuhkan bagi seorang dosen yang melakukan pelecehan seksual terhadap mahasiswa.
Dosen yang melakukan tindak kekerasan seksual terhadap perempuan mestinya bisa dijatuhi hukuman dikeluarkan dari institusi kampus dan dituntut dalam tindak pidana di persidangan.
Sayang, kebanyakan kasus pelecehan seksual atau kekerasan seksual di kampus justru diselesaikan secara kekeluargaan atas banyak pertimbangan yang tidak menguntungkan bagi korban.
Perempuan korban pelecehan seksual anehnya sering mendapat stigma negatif dari masyarakat luas. Perempuan korban kekerasan seksual justru distempel sebagai “perempuan nakal”, “perempuan jalang”.
Mereka ibarat sudah jatuh tertimpa tangga, sudah menjadi korban ditambah dijauhi karena dianggap kotor. Proses penyembuhan perempuan seolah-olah harus bangkit dari sakit berkali-kali saat ia menjadi korban kekerasan seksual.
Mereka harus memberanikan diri melapor. Mereka dipaksa mencari bukti yang tidak mudah sampai menghadapi publik kasusnya sehingga diketahui orang lain.
Perempuan akhirnya tidak bisa melawan dan tidak memiliki kuasa atas tindakan masyarakat yang justru memberi hukuman sosial berupa stereotipe kepadanya. Seperti Drupadi, akhirnya “perempuan” tidak mampu melawan takdirnya yang harus menghadapi dominasi patriarki yang melukai dan merendahkan.
Perlawanan terhadap tiga dosa pendidikan, salah satunya kekerasan seksual di kampus, harus disertai dengan upaya membangun pendidikan yang tiada henti tentang dampak fisik maupun psikologis. Terlampau banyak Drupadi yang menahan sakit dan gugur dalam perjuangan melawan kekerasan atas kedaulatan tubuh.