Esposin, SOLO – Ada kisah menarik yang pernah ditulis Jakob Oetama tentang Poerbatjaraka sebagai seorang sarjana Jawa yang sudah tua dan paling dihormati. Tulisan yang menggambarkan karakter kecendekiaan Poerbatjaraka.
Pak Poerba mengajar guru-guru itu di bawah pohon cemara, mirip Rabindranath Tagore yang memberi kuliah kepada para mahasiswa di bawah langit terbuka di Universitas Santiniketan di India. Demikian kalimat yang ditulis Jakob Oetama yang dimuat Majalah Intisari (2003).
Promosi Layanan Wealth Management BRI Raih Penghargaan Best Private Bank for HNWIs
Kisah itu merupakan bagian pengalaman hidup putra Indonesia kedua yang meraih gelar doktor di Universitas Leiden, Belanda, pada tahun 1926. Sebagai anak Bupati Anom Kasunanan Surakarta yang menjadi guru tari, guru menyanyi, dan guru sastra Sunan Paku Buwono X, Lesija Poerbatjaraka yang ahli dalam bahasa Jawa kuno dan Sansekerta mengajar pula guru-guru di Kota Solo.
Semula tempat mengajar adalah salah satu ruangan di gedung museum yang kini dikenal sebagai Museum Radya Pustaka. Sehubungan ada larangan mengajar di sana oleh sejumlah pihak yang merasa iri dan tersaingi dengan keahliannya, mengungsilah guru dan murid itu ke Taman Sriwedari.
Bukan kebetulan Taman Sriwedari dipandang bukan semata-mata sebagai tempat hiburan. Taman Sriwedari menjadi tempat mengolah rasa dan mengekspresikan melalui pendidikan berbudaya sebagaimana diteladankan Poerbatjaraka.
Dalam konteks ini, Mas Marco Kartodikromo yang pernah menarasikan Taman Sriwedari sebagai “kebon binatang (sic) keponjaan Hingkang Sinoehoen di Solo” (Takashi Shiraishi, 1997) menganggap bahwa tempat itu menjadi arena persinggahan bagi anak-anak muda pada era kolonial Belanda untuk saling bertemu dan bertegur sapa.
Artinya, di tempat itu siapa pun boleh datang dan pergi tanpa perlu merasa rikuh dan khawatir tentang asal-usul. Orang Belanda maupun Jawa, Eropa atau pribumi, kulit putih dan cokelat, tuan dan/atau pelayan, semua merasa diri setara dan sejajar sebagai kramablanda (Rudolf Mrázek, 2006).
Itulah mengapa, meski dengan fietpantaloons (celana tanggung) yang tampak aneh, kaum muda pribumi tanpa malu-malu “plesir” (plezier) dan duduk-duduk di restoran sembari minum limonade (limun), bahkan menonton film bioskop, sekadar untuk dapat merasakan “menjadi modern” pada awal abad ke-20.
Dengan imajinasi menjadi modern itu, masuk akal Taman Sriwedari memberi inspirasi bagi kaum muda untuk merasakan sensasi sebagai “student” yang adalah lambang modernitas. Lambang “bangsa kaoem moeda” yang diistilahkan Mas Marco digambarkan dengan “mereka yang mengerti bahasa Belanda”.
Bahasa yang di mata Poerbatjaraka “tidak melukai orang Jawa” dan “dapat mengatakan apa saja tentang Jawa dan kebudayaan Jawa betapapun sakralnya kebudayaan itu”. Maka, dengan berbahasa Belanda, kaum muda yang terdidik secara Barat dapat merasakan, selain sebagai bumiputra, juga orang yang mengalami hidup berdampingan dengan hal-hal yang modern.
Kesejajaran antara yang tradisional dan yang modern juga berlangsung secara unik dalam diri para pemuda yang lambat laun mengalami perubahan, khususnya dalam hal kesadaran bergerak bersama “bangsa-bangsa” entah di Batavia, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta.
Berkat kesadaran “nasional” itu, meski tidak saling kenal dan tak pernah bertemu satu sama lain, semangat untuk membentuk dan menemukan “embrio bangsa” tak pernah surut dari bayangan kaum muda modern itu.
Di sinilah arti penting Taman Sriwedari yang membuat tokoh setenar Poerbatjaraka menjadikan tempat itu sebagai “taman pendidikan” untuk mendalami sastra Jawa kuno. Penting untuk diketahui bahwa pada zamannya sastra Jawa kuno tidak banyak dipelajari oleh masyarakat Jawa khususnya, bahkan hingga saat ini.
Justru para ahli bahasa dan budaya (filolog) dari Barat, termasuk Belanda, yang secara serius menekuni. Karena itulah, boleh dibilang Poerbatjaraka adalah pakar sastra Jawa kuno yang “langka”.
Adiknya, yang bernama Lesijan Kodrat Poerbapangrawit, adalah orang yang mengajari Ben Anderson tentang budaya dan bahasa Jawa hingga terbitlah bukunya yang pertama berjudul Mitologi dan Toleransi Orang Jawa atau Mythology and the Tolerance of the Javanese (Ben Anderson, 2016).
Jika Taman Sriwedari telah menyuratkan masa lalu yang begitu mendalam mengenai pendidikan yang “memanusiakan manusia muda”, sebagaimana diteladankan Pak Poerba, nilai dan makna sejarah macam apakah yang dapat diguratkan untuk mengembangkan kebudayaan di Kota Solo masa kini?
Salah satunya tentu saja adalah dengan tetap menjadikan Taman Sriwedari sebagai taman pendidikan. Artinya, di tempat itulah siapa pun dapat mempelajari sejarah dan kebudayaan Kota Solo yang bukan sekadar menyimpan naskah atau teks, sastra misalnya, yang beraroma “klasik”, “tradisional”, bahkan “asli”.
Di sanalah tempat tersebarnya beragam cerita atau kisah yang bersifat hibrida (campuran), tidak binaris (saling bertentangan), dan fleksibel. Dengan kata lain, di Taman Sriwedari, baik yang tradisional (wayang orang) maupun yang modern (bioskop), dapat “hidup ber(se)sama” sebagai (nara)sumber sejarah dan budaya kota Solo yang representatif dan berkiblat kerakyatan.
Inilah agaknya pesan yang bernilai dan bermakna historis dari Taman Sriwedari dan layak untuk terus-menerus digaungkan, terutama sesudah Taman Balekambang direnovasi dan dibuka kembali.
Sebagaimana suluk dan wirid yang menjadi simbol khas pembacaan sejarah “Jawa” yang bersumber bukan semata-mata dari kalangan elite (Nancy K. Florida, 2008), sejarah dan budaya Taman Sriwedari juga terasa enak dan perlu untuk dirawitkan sebagai taman pendidikan, khususnya untuk Taman Balekambang, yang bukan untuk sekadar mengklaim kepentingan, apalagi keaslian diri, melainkan justru demi mengembangkan misi dan visi kemanusiaan, khususnya bagi orang-orang muda masa kini.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 26 Agustus 2024. Penulis adalah peneliti di Lembaga Studi Realino Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)