Esposin, SOLO – Beberapa pekan terakhir, jagat media sosial heboh karena fenomena cuci darah pada anak-anak. Kasus ini viral menyusul beredarnya rekaman video yang memperlihatkan anak-anak menjalani perawatan cuci darah di Rumah Sakit dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Video itu membuat banyak warga negeri ini menjadi waswas dan khawatir. Kasus itu menimpa banyak pasien yang relatif masih berusia belia atau anak-anak. Setelah ditelusuri, kasus cuci darah pada anak itu tidak hanya marak terjadi di RSCM Jakarta.
Promosi Beri Kemudahan, Sinergi BRI dan Pelni Hadirkan Layanan Reservasi Tiket Kapal
Sejumlah rumah sakit tipe A di daerah, salah satunya RSUP dr. Kariadi, Kota Semarang, Jawa Tengah, juga menerima banyak pasien anak yang melakukan cuci darah.
Solopos pada Kamis (1/8/2024) memberitakan setidaknya 10 anak di Jawa Tengah yang setiap bulan harus menjalani layanan cuci darah di RSUP dr. Kariadi. Belum diketahui secara pasti penyebab anak-anak tersebut melakukan cuci darah secara rutin.
Otoritas di RSUP dr. Kariadi enggan membeberkan secara detail penyebab puluhan anak-anak itu menjalani cuci darah setiap bulan. Cuci darah atau hemodialisis biasanya berkaitan dengan perawatan kesehatan yang berhubungan dengan ginjal.
Hemodialisis biasanya diberlakukan kepada pasien yang mengalami gagal ginjal atau fungsi ginjal dalam menyaring darah dalam tubuh tidak berjalan dengan baik.
Ada beberapa penyebab seseorang mengalami gagal ginjal, seperti penyakit genetik bawaan, kebiasaan terlalu sering menahan buang air kecil, diabetes, dan kebiasaan mengonsumi makanan dan minuman yang mengandung kadar gula tinggi.
Konsumsi minuman dengan kadar gula tinggi inilah yang sering dianggap sebagai pemicu anak-anak mengalami gagal ginjal hingga melakukan cuci darah. Kebenaran tentang hal ini masih perlu dikaji lebih mendalam.
Beberapa pakar menyatakan konsumsi minuman berpemanis butuh waktu yang lama untuk mengakibatkan komplikasi gagal ginjal. Kendati demikian, kebiasaan mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) memang bukan pola hidup yang sehat, apalagi untuk kalangan anak-anak.
Asupan gula sebenarnya sangat dibutuhkan tubuh untuk menjalankan aktivitas sehari-hari. Gula dibutuhkan sebagai sumber karbohidrat dan energi. Jika berlebihan tentu bisa memicu munculnya penyakit berbahaya, seperti diabetes.
Berdasarkan data Yayasan Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah yang dirilis awal 2024, hampir 40% anak mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan setiap hari. Sedangkan 20% di antara mereka mengaku mengonsumsi dua kali hingga enam kali dalam sepekan.
Berdasarkan data Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), sebanyak 1.645 anak pengidap diabetes tersebar di 13 kota, yakni Medan, Padang, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Jogja, Solo, Surabaya, Malang, Denpasar, Makassar, dan Manado.
Dari jumlah anak pengidap diabetes tersebut, paling banyak adalah anak pada rentang usia 10 tahun hingga 14 tahun (46,23%), 31,05% lainnya berusia lima tahun hingga sembilan tahun, 19% berusia nol hingga empat tahun, dan 3% anak usia lebih dari 14 tahun.
Data itu diperkirakan belum mencakup seluruh anak pengidap diabetes di Indonesia. Diprediksi data jumlah anak pengidap diabetes lebih tinggi lagi karena selain data belum mewakili seluruh daerah, banyak kasus yang tidak terdiagnosis.
Banyaknya kasus anak yang mengidap diabetes ini jelas sangat mengkhawatirkan, apalagi jika diabetes sampai tidak terkontrol akan menyebabkan cuci darah hingga kematian. Pemerintah sebenarnya cukup waspada dan peduli dengan kondisi ini.
Pro dan Kontra
Upaya itu diwujudkan dengan rencana penerapan cukai pada MBDK mulai tahun 2024. Mekanisme pungutan cukai minuman manis berupa batasan pengenaan barang kena cukai (BKC) akan mengacu pada Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) Nomor 22/2019 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan.Penerapan cukai minuman manis ini memang disambut pro dan kontra. Ada yang menilai kebijakan ini hanya akal-akalan pemerintah untuk menambah pundi-pundi pendapatan negara. Kebijakan ini hanya diterapkan pada minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK.
Produk minuman berpemanis yang dijual pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah tidak kena cukai. Toh, kedua produk minuman berpemanis itu juga sama-sama mengandung kadar gula yang tinggi.
Di sisi lain ada juga yang setuju dengan kebijakan ini. Mereka yakin penerapan cukai ini mampu mengendalikan konsumsi MBDK yang dianggap menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya kasus diabetes.
Data International Diabetes Federation (IDF) menunjukkan pada tahun 2021 Indonesia menempati posisi ke-5 negara dengan jumlah pengidap diabetes terbanyak di dunia. IDF mencatat terdapat 19,5 juta penduduk Indonesia pada rentang usia 20 tahun hingga 79 tahun yang mengidap diabetes.
Angka ini diproyeksikan akan terus meningkat hingga tahun 2045 yang bisa mencapai 28,5 juta pengidap. Tidak hanya butuh penerapan cukai untuk pengendalian konsumsi minuman berpemanis.
Kebijakan itu juga harus diimbangi dengan kesadaran masyarakat mengurangi konsumsi minuman dengan kadar gula tinggi. Masyarakat harus benar-benar sadar bahwa konsumsi minuman berpemanis secara berlebihan akan berbahaya, baik yang dijual dalam kemasan buatan pabrik maupun di pinggir-pinggir jalan.
Orang tua juga harus mulai menerapkan pola hidup sehat kepada anak-anaknya. Jangan hanya karena ingin menyenangkan si buah hati, orang tua jadi abai dengan risiko kesehatan.
Jika tidak ada kesadaran tentang pola hidup sehat, seberapa pun cukai yang diterapkan niscaya ikhtiar mengendalikan konsumsi minuman berpemanis sulit dilakukan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Agustus 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)