Mereka menggelar upacara pengibaran bendera kebangsaan merah putih. Sebelumnya, pondok pesantren itu berafiliasi dengan Jamaah Islamiyah (JI) yang melarang upacara bendera, menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan menghormat bendera kebangsaan.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Seiring pembubaran JI oleh para pemimpin dan tokoh di tingkat yang lebih tinggi pada 12 Juli 2024, pondok pesantren tersebut menyatakan komitmen menjadi bagian Negara Kesatuan Repuboik Indonesia (NKRI).
Eks pimpinan dan anggota JI di Kabupaten Boyolali juga menyatakan komitmen yang sama. Sebanyak 13 anggota JI mengucapkan ikrar membubarkan diri dan mendukung NKRI dengan mencium bendera merah putih di Markas Kodim 0724/Boyolali pada Sabtu (17/8/2024).
Sebelumnya, pada 12 Agustus 2024, sebanyak 500 anggota JI di Kabupaten Klaten dan dari daerah lain juga mendeklarasikan pembubaran diri serta menyatakan kembali ke pangkuan NKRI.
Deklarasi pembubaran diri sekaligus komitmen anggota atau yang terafiliasi dengan JI menjadi bagian kehidupan berbangsa dan bernegara itu tentu melegakan. Sejauh ini para elite JI memang tak mengakui aksi-aksi terorisme yang pernah terjadi di Indonesia sebagai aksi resmi mereka.
Elite JI mengatakan tidak pernah menginstruksikan aksi terorisme kepada anggota. Kalaupun terjadi aksi terorisme, itu dilakukan sempalan JI atau anggota JI yang tak mematuhi perintah organisasi. Walakin, JI memang menjadi persemaian radikalisme ekstrem.
Pengakuan elite dan anggota JI bahwa di Kabupaten Boyolali dan beberapa daerah lain ada pondok pesantren yang berafiliasi dengan mereka dan mengajarkan bibit-bibit radikalisme ekstrem adalah realitas tak terbantahkan.
Di pondok pesantren itu dilarang mengadakan upacara bendera, dilarang menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya, dan dilarang menghormat bendera kebangsaan. Keterbukaan mereka saat mendeklarasikan pembubaran diri dan menyatakan berkomitmen menjadi bagian kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia harus disambut baik.
Mereka wajib membuktikan komitmen itu dalam menjadi sikap dan tindakan sehari-hari. Deradikalisasi harus mereka jalankan secara swadaya. Menghilangkan ajaran yang mengarah ke sikap dan tindakan radikal ekstrem harus mereka lakukan dengan sungguh-sungguh.
Pemerintah pusat dan daerah lewat institusi terkait, misalnya tim kewaspadaan dini yang lintas lembaga dan organisasi, harus menyediakan daya dukung bagi kalangan eks JI untuk melepaskan diri dari ajaran radikal ekstrem dan menjadi bagian kehidupan berbangsa dan bernegara.
Aspek pembinaan dan pemantauan secara humanis yang berkelanjutan harus dikedepankan. Ini demi mencegah infiltrasi daya tarik dan kekuatan radikalisme ekstrem lainnya menyusup dan menguasai mereka lagi.