Esposin, SOLO – Saat ini pendidikan di Indonesia masih menghadapi berbagai tantangan, termasuk kesenjangan antardaerah, kualitas guru, dan ketidakmerataan fasilitas belajar. Perkembangan positif pada pemanfaatan teknologi.
Platform teknologi pendidikan digunakan dengan tujuan efisiensi dan memudahkan akses supervisi dan asesmen secara nasional. Teknologi, seperti Internet secara umum dan e-learning secara khusus, telah menjadi sahabat baru dalam pendidikan era sekarang.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Menjadi refleksi sejauh mana pendidikan nasional menjawab berbagai tantangan. Pemerataan pendidikan masih menjadi pekerjaan bersama. Akses, fasilitas, dan infrastruktur sekolah masih timpang antara pelosok dan perkotaan. Begitu pula dengan teknologi, tidak semua bisa mendapatkan.
Berbagai pendekatan tentu sudah digunakan. Sistem pendidikan kita mengalami banyak perubahan. Kurikulum Merdeka dimulai secara terbatas pada 2021 di sekolah penggerak yang berada di 111 kabupaten/kota. Setahun kemudian diimplementasikan Kurikulum Merdeka untuk jalur mandiri.
Berdasarkan data Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, saat ini hampir 70% satuan pendidikan di seluruh Indonesia telah menerapkan Kurikulum Merdeka melalui program sekolah penggerak.
Sistem baru ini diharakan menjadi motor penggerak mengatasi berbagai kekurangan pendidikan. Tentu sistem ini sebatas pada target akademis. Bagaimana dengan pemerataan, buta huruf yang masih, ada dan akses pemerataan teknologi di kota dan pelosok?
Pendidikan kita butuh semangat berbenah. Kurikulum Merdeka memberikan peluang besar. Pendidikan nasional diukur dengan asesmen nasional barbasis komputer atau asesmen nasional.
Kurikulum sebelumnya menggunakan ujian nasional. Perubahan ini menjadi penting sebagai fokus tiap sekolah. Asesmen nasional barbasis komputer meminta survei hasil belajar secara random.
Asesmen mencakup anak berkemampuan akademik rendah sampai tinggi dan aneka kemampuan ekonomi serta kondisi sosial sebagai sampel dari sekolah. Asesmen secara garis besar adalah survei kemampuan literasi, numerasi, dan lingkungan.
Parameter ini penting menjadi landasan sekolah dengan pembelajaran yang memberikan asesmen berupa formatif (penilaian proses belajar) dan sumatif (penilaian akhir belajar). Idealnya dua penilaian itu dapat mejawab kebutuhan survei belajar di asesmen nasional.
Dulu guru biasa melakukan teknik drill untuk mempersiapkan ujian nasional. Dalam sistem asesmen nasional teknik itu tidak efektif karena survei belajar dilakukan secara acak dengan waktu yang singkat.
Sekolah wajib memaksimalkan sumber daya yang dimiliki untuk menjawab tiga komponen asesmen nasional. Pendekatan budaya bisa menjadi opsi pertama. Literasi tidak bisa sekali jadi. Begitu pula numerasi dan survei lingkungan.
Pembudayaan sekolah dengan kemampuan literasi, numerasi, dan pandangan lingkungan menjadi relevan untuk digagas. Butuh inovasi dan berbenah. Membuat program guru berdaya, memperbanyak pelatihan, dan membentuk kelompok belajar adalah sebagian strategi yang bisa diterapkan.
Opsi lainnya adalah membangun sekolah berbasis riset. Apakah mungkin? Seharusnya memungkinkan. Kita mengenal ada karya ilmiah remaja (KIR). Kenapa tidak ditambah dengan karya ilmiah sekolah? Naif ketika menuntut anak bisa berkativitas riset sementara guru atau sekolah jauh dari aktivitas riset.
Artinya bukan hanya siswa di kegiatan ekstrakurikuler KIR yang mendapatkan kesempatan melakukan riset, tetapi diharapkan satuan pendidikan juga memiliki inovasi sama. Kajian di sekolah masing-masing bisa menjadi pengetahuan empiris (pengalaman).
Ada penelitian tindakan kelas (PTK) yang tidak efektif karena menjadi beban individu guru. Ini dapat ditranformasikan menjadi proyek sekolah. Hasilnya bisa dibukukan dan disimpan di perpustakaan sekolah sehingga bisa dibaca oleh semua warga sekolah.
Contohnya masalah perundungan atau bullying, tawuran, dan penyimpangan ramaja lainya. Ini akan sangat berarti ketika semua kasus terkait anak diatasi dengan pendekatan riset. Tim penelitian yang dibentuk sekolah membuat rumusan, pendekatan, dan hasilnya dapat diukur berbasis metode ilmiah sesuai tingkat pembelajaran di sekolah.
Budaya riset dapat digunakan untuk mencari penyelesaian masalah, mencari sesuatu di balik kejadian atau fenomena, atau untuk menguji hipotesis. Keberhasilan dan ketidakberhasilan bisa menjadi tantangan baru menguji berbagai pendekatan pendidikan dan perkembangan anak.
Tranformasi penelitian tindakan kelas menjadi penelitian tindakan sekolah adalah khazanah membudayakan pendidikan berorientasi riset dan sebagai cara peningkatan literasi. Pendekatan budaya ini menjadi harapan pada pentingnya menciptakan pendidikan berkualitas dan kompetitif.
Pembudayaan riset di semua lembaga pendidikan adalah upaya logis bukan hanya untuk pengembangan peserta didik, melainkan pengembangan seluruh satuan pendidikan agar selalu terbawa dalam budaya intelektualisme.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 11 September 2024. Penulis adalah guru Seni Budaya di SMPN 9 Kota Solo)