Pengembangan sumber EBT terus dilakukan sebagai sumber energi alternatif pengganti energi fosil.
Promosi Berbagai Program BRI untuk Mendukung Net Zero Emission di 2050
Perkembangan teknologi EBT berbanding lurus dengan meningkatnya jumlah permintaan baterai sebagai energi storage. Investor.id merilis bahwa Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan kebutuhan baterai dunia pada 2035 akan mencapai 5.300 giga watt hour (gWh) atau 5,3 terra watt hour (TWh).
Namun, sudah tidak asing lagi tentunya issue terkait akan adanya transisi energi dari fosil ke energi baru terbarukan diramalkan akan menyebabkan gejolak, di mana dunia mengalami kekurangan pasokan mineral.
Ramalan tersebut diperkuat adanya analisis bahwa harga lithium yang cukup tinggi sementara nilai komersialisasinya belum sebanding. Hal ini menjadi salah satu penghalang investor untuk berinvestasi di industri baterai.
Baterai berbasis lithium ion mengancam keberlanjutan lingkungan karena proses penambangan material dasarnya yang sangat masif di negara penghasil lithium. Setiap ton lithium yang ditambang dari batuan keras menghasilkan 15 ton limbah gas karbondioksida.
Selanjutnya setiap proses ektraksi lithium akan menyebabkan lingkungan sekitarnya terkontaminasi limbah yang mengganggu kelangsungan ekosistem di lingkungan tersebut.
Selain itu baterai ion lithium membutuhkan bahan seperti kobalt, nikel, dan litium, yang langka, mahal, dan harus diekspor dari negara penghasil bahan tersebut sehingga biaya produksinya menjadi sangat mahal.
Mengapa Sodium Ion Para peneliti di bidang baterai berusaha mengembangkan baterai alternatif non-lithium. Salah satunya adalah baterai sodium ion. Teknologi baterai sodium ion bukan merupakan teknologi yang baru karena sudah dikenal sejak 1970-an akan tetapi pengembangannya tidak sepesat lithium.
Seiring berjalannya waktu teknologi baterai sodium semakin dilirik oleh para peneliti. Hal tersebut dikaitkan dengan posisi ion sodium yang berdekatan dengan ion lithium pada tabel periodik unsur sehingga diyakini para peneliti bahwa kandungan fisika dan kimiawi antara kedua ion tersebut hampir sama.
Baterai sodium mempunyai kelebihan yaitu paling mendominasi keberadaan di bumi. Material sodium 12.000 kali lebih melimpah daripada lithium. Hal ini sangatlah penting bagi dunia yang ingin mengatasi masalah terkait sumber energi berbasis karbon.
Kelebihan lainnya yaitu sodium lebih ramah lingkungan dan lebih aman pada suhu tinggi dibandingkan lithium.
Apabila dilihat dari segi harga bahan baku Sodium hidroksida (NaOH) adalah $300-$800 per metrik ton, sedangkan harga Lithium hidroksida (LiOH) $78.000 per metrik ton. Hal tersebut sangatlah menguntungkan jika baterai sodium ion dikomersialisasikan karena bisa menekan harga hingga 1/10 kalinya.
Ke depannya, baterai sodium ion dengan anoda karbon keras dan katoda bebas kobalt akan menjadi alternatif hemat biaya yang berkelanjutan dibandingkan dengan baterai lithium ion.
Para peneliti mengadopsi prinsip kerja dari baterai lithium ion. Pada baterai lithium, ion lithium yang berpindah. Sementara pada baterai sodium, ion Na yang berpindah. Baterai sodium ion memiliki prinsip charge dan discharge yang mirip dengan baterai ion lithium.
Ketika proses discharging, ion Na akan berpindah dari anoda menuju katoda melalui elektrolit dan elektron akan menuju katoda melalui sirkuit luar.
Sedangkan pada proses charging, ion Na akan berpindah dari katoda menuju anoda melalui elektrolit dan elektron akan menuju anoda melalui sirkuit luar.
Riset Baterai Sodium Ion
Beberapa hasil penelitian tim Pusat Unggulan Ipteks Baterai Lithium UNS (PUI Baterai UNS) yang telah dipublikasikan antara lain pada seminar nasional Teknik Kimia tahun 2022 dengan judul Sintesis Material Na0.9Mn0.48Fe0.3Cu0.22O2 Menggunakan Metode Copresipitasi Sebagai Katoda Baterai Sodium Ion.
Pada paper menyebutkan bahwa baterai sodium ion dapat dibuat dari garam laut (NaCl). Material katoda yang dikembangkan adalah NaMnFeCu, material tersebut disintesis dengan metode copresipitasi sederhana.
Metode ini dipilih karena tingkat risiko rendah, dan cukup menggunakan peralatan laboratorium. Proses pembuatan material sangatlah menentukan performa baterai. Hasil pengujian XRD, SEM dan FTIR menunjukkan karakteristik material NaMnFeCu yang sangat baik.
Selain itu ada pula publikasi yang telah diikutsertakan pada conference international (ICESTA 2021) berjudul A Novel Synthesis of Cathode Material NaNi0.5Ti0.5O2 for Sodium-Ion Batteries. Paper tersebut menunjukkan novelty yaitu material NaNi0.5Ti0.5O2 dapat disintesis menggunakan metode kombinasi dari co-presipitasi dan solid state.
Hasil uji karakterisasi (XRD, FTIR, dan XRF) menunjukkan bahwa struktur material, ukuran dan performa elektrokimia mampu menunjukkan stabilitas yang baik. Penelitian ini menjadi awalan yang baik untuk penelitian dan pengembangan baterai sodium ion selanjutnya.
Pemain Baterai Sodium Ion
Perusahaan yang telah melakukan pengembangan dan akan meluncurkan produk baterai sodium ion antara lain perusahaan asal Amerika Serikat yaitu Faradion, Natron Energy, dan Altris.Jenis material katoda yang dikembangkan oleh perusahaan Natron adalah jenis Prussian blue (Fe4[Fe(CN)6]3. Perusahaan Altris mengembangkan jenis Prussian white.
Selaras dengan Altris perusahaan dari China yaitu Contemporary Amperex Technology Co. Ltd. (CATL) juga telah memulai pengembangan baterai sodium ion pada 2021 menggunakan material Prussian white. Alasannya material tersebut memiliki kapasitas spesifik yang lebih besar.
CATL berencana pada 2023 akan membangun pabrik sodium ion dan mengajak para pemasok di sektor hulu dan pelanggan di sektor hilir, serta berbagai lembaga riset untuk mempercepat penggunaan dan pengembangan baterai sodium ion.
Dari ulasan tersebut peluang inovasi baterai sodium ion sangat menjanjikan. Hal ini turut serta menggerakkan perkembangan industri energi baru terbarukan. Tingkat permintaan baterai untuk energi storage bisa menjadi ajang untuk memamerkan beragam teknologi EV dan aplikasi baterai pada teknologi lainnya.
Jalur teknik yang terdiversifikasi juga akan menjamin stabilitas pengembangan industri pada jangka panjang. Peranan pemerintah untuk memberikan dukungan bagi peneliti dan edukasi kepada masyarakat sangatlah diperlukan demi terciptanya Net Zero Energy.
Artikel ini ditulis oleh Windhu Griyasti Suci, dosen D3 Teknik Kimia, Sekolah Vokasi UNS, dan Peneliti Pusat Unggulan Ipteks Baterai Lithium UNS.