Esposin, SOLO – Seorang perempuan berkulit putih itu tampak antusias memperlihatkan wajahnya saat sesi live selling di sebuah platform e-commerce. Ada sejumlah produk skin care atau perawatan kulit di depannya.
Dengan gaya bak presenter televisi dia menguraikan kegunaan skin care yang dia klaim bisa bikin wajah glowing hanya dalam hitungan hari. Sesekali dia mengoleskan sedikit krim berwarna putih ke wajah atau tangan yang tampaknya memang seketika berubah jadi lebih putih.
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Tampaknya metode penjualan itu cukup berhasil. Terbukti dalam hitungan menit puluhan, bahkan ratusan, paket skin care yang dia tawarkan di etalase online miliknya langsung diserbu buyer atau pembeli.
Tak hanya secara online, penjualan skin care, khususnya yang mengandung ekstra pemutih, sangat mudah dijumpa di toko-toko ritel di sekitar kita.
Besarnya keinginan masyarakat, terutama kaum Hawa, untuk tampil menarik juga bisa dilihat dari melesatnya industri kosmetik.
Merujuk data yang dilansir Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), terjadi peningkatan pertumbuhan jumlah pelaku usaha kosmetik dari 819 perusahaan pada 2021 menjadi 913 perusahaan pada 2022.
Hal ini setara dengan pertumbuhan sebesar 20,6% pada 2022. Selanjutnya, pada 2023, industri kosmetik di Indonesia tumbuh sebesar 21,9%, yakni dari 913 perusahaan pada 2022 menjadi 1.010 perusahaan.
Tren tampil cantik dan menarik dengan operasi plastik juga kian merebak, tak hanya dengan polesan skin care atau kosmetik. Selebritas, tokoh terkenal, influencer menjalani operasi plastik untuk memperbaiki penampilan. Ini juga dilakukan masyarakat umum dari berbagai kalangan.
Dari sekadar memperbaiki bentuk hidung hingga prosedur yang lebih kompleks seperti mengubah warna kulit, memperbaiki bentuk wajah, pengencangan atau pembesaran bagian tubuh tertentu, operasi plastik seolah-olah dianggap sebagai salah satu cara instan untuk mencapai standar kecantikan tertentu.
Dalam masyarakat yang kian berkembang saat ini, standar kecantikan sering kali menjadi penentu nilai diri seseorang. Salah satu standar kecantikan yang telah lama mengakar di banyak budaya, khususnya di kawasan Asia, adalah kulit putih.
Dalam masyarakat modern, pengaruh globalisasi dan media, baik media konvensional hingga media sosial, juga turut memperkuat standar ini. Iklan-iklan produk kecantikan sering kali menampilkan model dengan kulit putih dan tubuh ramping yang dianggap ideal.
Beauty is pain. Istilah itu sering digunakan untuk menggambarkan perjuangan untuk tampil cantik memesona yang menyakitkan, padahal ada risiko yang mengancam di balik keinginan tampil sempurna jika salah memilih item atau prosedur yang dilakukan.
Obsesi memiliki kulit putih kinclong tidak hanya menjadi tren. Secara tidak disadari juga mencerminkan tekanan sosial dan psikologis bagi kaum perempuan. Mereka yang merasa kulitnya tidak cukup cerah mungkin mengalami rasa tidak percaya diri, kecemasan, dan bahkan depresi.
Ketidakpuasan terhadap warna kulit dapat memicu perilaku yang merugikan, seperti penggunaan produk pemutih kulit secara serampangan atau tindakan yang berpotensi berbahaya.
Produk pemutih kulit, terutama yang tidak memiliki izin alias ilegal, sering mengandung bahan kimia keras yang dapat menyebabkan iritasi, alergi, dan dalam jangka panjang menyebabkan kerusakan permanen pada kulit.
Selain itu, ketergantungan pada produk-produk ini dapat meningkatkan risiko terkena penyakit serius, seperti kanker kulit. Ironisnya, upaya mencapai kulit putih demi terlihat lebih cantik justru dapat merusak kesehatan fisik dan mental.
Meskipun bisa meningkatkan rasa percaya diri, bedah plastik juga bisa berdampak psikologis yang tidak selalu positif. Beberapa individu bisa saja merasa tertekan oleh harapan yang tidak realistis tentang hasil bedah plastik.
Ketika harapan tidak tercapai, hal ini dapat menyebabkan kekecewaan, depresi, dan bahkan gangguan dismorfik tubuh (body dysmorphic disorder), kondisi gangguan kesehatan mental ketika seseorang tidak bisa berhenti memikirkan kekurangan dalam penampilan.
Ironisnya, tekanan untuk tampil sempurna dengan standar tertentu sering kali berasal dari lingkungan sosial. Mereka yang memiliki kulit lebih gelap mungkin merasa ditekan oleh keluarga, teman, atau pasangan untuk mengubah warna kulit mereka.
Di beberapa budaya, kulit putih bahkan dapat memengaruhi peluang dalam pernikahan atau pekerjaan. Stigma terhadap kulit gelap tidak hanya menciptakan ketidakadilan, tetapi juga memperkuat diskriminasi berbasis warna kulit atau colorism.
Hal ini menciptakan hierarki sosial yang tidak sehat saat individu terutama perempuan dengan kulit gelap dianggap kurang menarik atau kurang berharga dibandingkan dengan mereka yang memiliki kulit putih dengan tubuh ramping.
Mengubah Pola Pikir
Penilaian dan stereotipe standar kecantikan dengan standar tertentu cenderung tidak realistis bisa berdampak buruk. Seseorang yang terobsesi melakukan up grade penampilan bisa melakukan beragam cara, bahkan mempertaruhkan nyawa.Hal fundamental untuk mengatasi obsesi penampilan adalah dengan melakukan perubahan paradigma dalam cara memandang kecantikan atau penampilan. Kecantikan seharusnya tidak didefinisikan oleh warna kulit, bentuk tubuh, dan hal-hal yang hanya bersifat kasat mata, melainkan oleh keunikan, keaslian, serta kepribadian setiap individu.
Mendorong penerimaan diri dan mengapresiasi keanekaragaman penampilan fisik dapat membantu mengurangi tekanan sosial. Mengubah cara pandang terhadap kecantikan akan mendorong penerimaan diri yang lebih inklusif dan sehat.
Langkah kecil ini jika terus menggelinding akan mendorong masyarakat menghargai keanekaragaman dan menolak diskriminasi berbasis warna kulit dan penampilan.
Masyarakat perlu mengadopsi pandangan yang lebih luas dan inklusif tentang kecantikan dengan menghargai keunikan dan keberagaman setiap individu tanpa perlu bergantung pada standar fisik yang sempit.
Perlu ditanamkan pada diri bahwa kecantikan dan kerupawanan sejati berasal dari dalam diri. Mental yang sehat dan positif dapat memancarkan aura yang jauh lebih menarik daripada penampilan luar semata.
Menjadi cantik secara mental berarti memiliki pikiran, perasaan, dan sikap yang positif, yang tidak hanya membuat diri kita lebih bahagia, tetapi juga membuat orang-orang di sekitar kita merasa nyaman dan terinspirasi.
Menjadi cantik tidak perlu bergantung pada penilaian orang-orang sekitar karena bisa ditumbuhkan dari dalam diri tanpa menggunakan skin care atau operasi plastik.
Beauty is not pain. Menjadi cantik bukan proses menyakitkan karena kecantikan sejati berasal dari hati dan pikiran yang positif dengan rasa syukur dan penerimaan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 30 Agustus 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)