Esposin, SOLO – Pemandangan ini sulit saya hapus dari memori saya. Waktu itu bulan Agustus yang panas. Suasana pelataran Candi Angkor Wat di Siem Reap, Kamboja, terasa panas dan berdebu.
Di antara kepulan debu dan teriknya sinat matahari tersebut para pedagang asongan menjajakan dagangan mereka, berebut dengan para pengemudi tuktuk menjajakan jasa angkutan.
Seorang bocah perempuan bertubuh kurus, berambut merah, dan berpakaian lusuh membawa dagangan menghampiri saya. Mulut mungilnya berucap,”One dollar for five”. Tangan kurusnya mengulurkan lima buah tempelan kulkas bergambar Angkor Wat.
Meski dia tak menjelaskan panjang lebar, saya langsung paham maksud dia. Dia menawarkan cenderamata itu seharga US$1 untuk lima buah. Di Kamboja, turis dan warga lokal lazim bertransaksi menggunakan mata uang lokal riel atau dolar Amerika Serikat.
Sekalipun turis memberikan dolar Amerika Serikat, para pedagang bisa dengan cepat mengonversi ke mata uang lokal dan memberikan kembalian dalam mata uang lokal. Termasuk bocah pedagang suvenir yang saya temui itu.
Saya ajak dia mengobrol. Dia bisa berbahas Inggris meski sepatah-sepatah. Usianya sekitar tujuh tahun, usia wajib sekolah di Indonesia. Saya tanya dia kenapa tidak bersekolah. Dia menjawab singkat,”No money.”
Saya tidak bisa berkata-kata lagi. Kemiskinan orang tua kerap memaksa anak-anak mengubur dalam-dalam impian mereka mereguk ilmu di bangku sekolah. Anak-anak disuruh mengerti orang tua mereka tidak punya uang.
Jangankan untuk biaya sekolah, untuk biaya makan sehari-hari saja susah. Fenomena anak disuruh mengerti dan memahami kondisi orang tua yang miskin dan tidak mampu masih bisa kita temui di sekitar kita.
Anak diminta tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi, yaitu kuliah, dengan alasan ketiadaan biaya atau adik-adik masih butuh biaya untuk sekolah. Memang benar anak tidak bisa memilih terlahir dari orang tua dengan kondisi ekonomi seperti apa.
Jika bisa memilih, tentu anak bakal memilih terlahir dari orang tua seperti orang tua artis Cinta Laura Kiehl: berkecukupan, open minded, memahami ilmu parenting, dan memberikan pendidikan berkualitas sehingga kebutuhan fisik, mental, dan spiritual anak terpenuhi.
Di Tiktok ramai respons terhadap konten yang memperlihatkan kejahatan orang tua miskin terhadap anak-anak mereka. Ada yang menyebut tindakan tersebut sebagai salah satu kejahatan orang tua yang tidak bisa dipidanakan.
Polanya selalu sama: punya banyak anak, penghasilan minim sehingga anak dipaksa tidak sekolah tinggi hingga jadi tulang punggung keluarga. Saya ingat sebuah keluarga dengan lima anak tinggal di rumah mungil di pinggiran sungai yang saya temui setiap kali jalan-jalan pagi.
Pemandangan yang terlihat setiap pagi adalah sang nenek susah payah menangani lima anak yang berjarak usia hanya satu tahun dan dua tahun sementara sang ibu memasak. Sang kepala keluarga bekerja sebagai pengemudi becak. Saya pernah mengajak mereka mengobrol.
Sang nenek mengeluh. Dia sebenarnya capai dilibatkan sebagai pengasuh di keluarga tersebut. Penghasilan kepala keluarga hanya Rp10.000 per hari. Mengapa punya banyak anak? Sang ibu menjawab tidak ada biaya untuk ikut program keluarga berencana atau KB.
Saya jelaskan di puskesmas ada fasilitas KB gratis. Kenapa tidak dimanfaatkan? Alasannya berganti lagi, tidak sempat ke puskesmas. Saya jadi berpikir benarkah manusia tidak punya kendali atas hidup mereka sendiri sehingga hidup terasa begitu tidak adil, menyesakkan, yang miskin tetap miskin?
Dalam hidup memang ada hal-hal yang tidak bisa kita kendalikan (misalnya terlahir di keluarga miskin), namun di sisi lain ada faktor yang bisa dikendalikan, misalnya masa depan/kehidupan seperti apa yang kita inginkan dan jumlah anak.
Salah satu syair tembang Sinom pada Serat Kalatidha karya Raden Ngabehi Ranggawarsita berbunyi “sakbegja-begjaning kang lali, luwih begja kang eling lan waspada” bisa menjadi pengingat.
Eling lan waspada dapat dibahasakan menjadi mewawas diri. Eling lan waspada pada dimensi kemanusiaan berupa kesadaran atas potensi kekuatan dan kelemahan manusia. Setidaknya jika selalu eling, kita akan tahu apa tujuan kita menikah dan punya anak?
Apakah hanya ikutan tren? Takut disebut jomlo abadi atau ada tujuan mulia memberikan warisan generasi emas untuk Indonesia? Dengan memiliki tujuan jelas, kita bisa terhindar dari budaya ikut-ikutan dan bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik.
Elon Musk punya tujuan jelas saat memutuskan punya banyak anak. CEO Tesla dan SpaceX ini punya 12 anak dari beberapa ibu. Beberapa di antara mereka lahir melalui ibu pengganti (surrogate mother).
Dalam cuitan pada tahun 2022, Musk menyatakan tentang alasan memiliki banyak anak. Musk ternyata cukup cemas dengan penurunan angka kelahiran. Itu menurut dia bisa mengancam peradaban manusia.
Elon Musk juga pernah mengungkapkan alasan lain mengapa dia memilih punya banyak anak. Diungkapkan oleh miliarder Shark Tank, Mark Cuban, dalam sebuah podcast bahwa Musk mengatakan tujuan dia memiliki banyak anak karena Planet Mars butuh diisi orang.
Selain itu, dia ingin memberikan warisan berkualitas kepada kehidupan. Perlu diingat, ini adalah pernyataan Elon Musk, pengusaha sukses yang tentu secara finansial sangat mapan sehingga mampu memberikan kehidupan berkualitas bagi anak-anaknya.
Musk juga sering mengajak anak-anaknya ke berbagai acara besar seperti Super Bowl di Las Vegas, Cannes Lions Festival di Prancis, ke pabrik Tesla di Jerman, dan ke SpaceX. Bagaimana bagi orang tua yang kondisi finansialnya pas-pasan dan tidak semapan Elon Musk?
Tentu kuncinya adalah dengan mengontrol kelahiran. Banyak anak banyak rezeki hanya akan terealisasi apabila anak-anak tumbuh menjadi manusia sukses, syukur-syukur mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.
”Pemeo” itu tidak berlaku bila anak-anak tumbuh hanya jadi beban keluarga dan negara. Setiap 23 Juli bangsa Indonesia memeringati Hari Anak Nasional, namun masih banyak persoalan membelit anak-anak Indonesia.
Aneka masalah ini muncul karena kurangnya kesadaran orang tua dalam memiliki dan membesarkan anak-anak mereka. Menjadi orang tua tidak hanya dituntut siap secara mental dan finansial.
Orang tua juga harus mau terus belajar. Mari menjadi orang tua yang lebih bertanggung jawab terhadap hidup kita dan anak-anak kita.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 23 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)