Nakal pada usia masih bocah itu wajar. Nakal pada masa tersebut masih berada dalam batas toleransi. Nakal pada usia ini, misalnya, anak mengalami tantrum karena tak terpenuhi yang diinginkan.
Contoh lainnya, anak sering jahil atau bahkan memukul teman sepermainan karena merasa terganggu atau merasa tersaingi. Menurut Kamus Besar Bahasa Bahasa Indonesia (KBBI), nakal berarti suka berbuat kurang baik atau buruk kelakuan.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Kenakalan perlu diredam agar tak kebablasan. Di antara cara ampuh meredam kenakalan pada anak adalah menjalin komunikasi aktif dengan anak. Hasil komunikasi itu muncul pemahaman atau kesadaran pada anak agar menjauhi kenakalan pada kemudian hari.
Nakal harus dicegah secara konsisten agar kenakalan tak berlanjut sampai usia remaja, dewasa, bahkan usia tua. Jika tak mampu meredam kenakalan secara baik dan benar sejak dini, tingkat kenakalan akan kebablasan pada waktu mendatang.
Saat kita melihat masih ada orang lanjut usia (lansia) melakukan perbuatan tak terpuji, itu namanya kebangetan. Dalam falsafah Jawa ada ajaran luar biasa dari Sunan Ampel, salah seorang tokoh Walisanga atau sembilan wali penyebar agama Islam di Jawa.
Nama ajarannya dikenal dengan pentingnya menghindari perbuatan malima. Dari segi bahasa Jawa, malima terdiri dari kata "moh" yang berarti tidak mau dan "lima" adalah lima.
Ajaran moh lima Sunan Ampel berturut-turut berupa moh main (tidak berjudi, termasuk judi online/judol), moh ngombe (tidak meminum minuman keras atau mabuk-mabukan), moh maling (tidak mencuri), moh madat (tidak mengisap candu atau narkoba), dan moh madon (tidak melakukan zina).
Dalam hidup tak ada orang yang bisa menjamin selalu berbuat baik terus-menerus. Sering kali kita dipertontonkan dengan awalan yang baik tapi akhirnya mencengangkan karena sangat buruk.
Begitu juga sebaliknya. Ada contoh yang pada awal (pada masa kanak-kanak hingga remaja) memiliki sisi kelam, saat menginjak usia dewasa tiba-tiba disadarkan oleh keadaan sehingga dapat berakhir dengan happy ending.
Contoh yang terakhir itu jauh lebih baik dibandingkan contoh yang pertama. Sebenarnya ada satu contoh lagi yang luar biasa, yakni sejak mengawali hidup hingga di ujung hayat selalu berbuat kebaikan.
Saya meyakini masih ada tipikal "orang suci" seperti itu pada era sekarang. Tentu jumlahnya sangat sedikit. Konsisten berubah menjadi pribadi yang lebih baik menjadi kunci utama agar seseorang tidak terus-terusan terjerambab dalam kubangan kenakalan.
Jika dibiarkan, kenakalan bisa saja menjurus pada kejahatan atau tindak kriminal karena semuanya berjalan dinamis. Di kalangan kawula muda sering terdengar slogan muda berfoya-foya tanpa memperhatikan amal kebaikan dan tua masuk surga.
Slogan seperti itu jelas salah kaprah. Bahwa kebaikan perlu diperjuangkan karena melakukan kebaikan jauh lebih sulit dibandingkan berbuat keburukan. Untuk berubah menjadi lebih baik, mestinya tak butuh waktu berlama-lama.
Jika perlu, dalam hitungan sepersekian detik bisa langsung berubah. Kalau memang memiliki kesempatan berubah menjadi lebih baik, segera lakukan perubahan itu. Untuk sebuah kebaikan, enggak perlu menunda-nunda.
Toh, yang sudah berjuang belum tentu berhasil berubah menjadi lebih baik, apalagi bagi yang tidak mencoba sama sekali. Yakinilah dengan rumus usaha tak akan pernah mengkhianati hasil biasanya jarang keliru.
Bagi siapa saja yang ingin hidup bahagia, sering-seringlah menghindari sifat nakal. Sifat ini bisa saja menghinggapi diri seseorang tanpa mengenal usia dan status sosial.
Terlepas dari itu semua, jika ada orang yang usianya sudah terbilang tua tapi masih nakal, pada dasarnya orang tersebut berpeluang besar akan merugi dalam hidupnya.
Ambil contoh jika ada yang sudah berusia di atas 40 tahun, bahkan di atas 60 tahun, tapi masih aktif melakukan malima, maka sulit untuk mengatakan hidupnya akan bahagia. Mencoba nakal pada usia tua itu tidak enak, apalagi nakal beneran pada usia senja. Sungguh terlalu!
Sayangnya, fenomena telat nakal seperti itu sering kita jumpai di kehidupan nyata. Kasus seorang guru berbuat cabul terhadap muridnya yang diungkap Polres Wonogiri pada awal September 2024 bisa jadi contoh kecil.
Bagaimana mungkin guru yang notabene sebagai sosok "orang tua" di lingkungan sekolah justru berbuat tak senonoh pada anak didiknya. Ini jelas di luar nalar sehat.
Ada juga kasus ayah bertindak asusila kepada anak. Kemerosotan moral seperti itu perlu ditangani serius oleh semua pihak. Contoh lainnya tentang kasus perselingkuhan.
Betapapun mapan kondisi ekonomi bagi orang yang tepergok selingkuh (dalam ajaran malima yakni madon) otomatis akan berdampak tidak baik pada masa depan keluarganya.
Perselingkuhan di banyak tempat akan mengakibatkan perceraian. Yang paling dirugikan dari sebuah perceraian adalah anak. Berikutnya, saat melihat orang masih sering mabuk-mabukan atau ngeslot alias judi pada usia yang dibilang tak lagi muda, itu juga tidaklah baik.
Fenomena telat nakal juga bisa saja menghinggapi seseorang di level pemimpin. Contohnya praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN), seperti seorang kepala desa (kades), bupati, gubernur, menteri, dan tataran top leader lainnya.
Sebagai seorang pemimpin atau orang yang dituakan, mestinya memberikan contoh yang baik kepada rakyat. Ternyata banyak pemimpin yang tidak menggubris ajaran malima, yakni maling. Praktik korupsi adalah maling duit rakyat.
Telat nakal di kehidupan nyata memberikan dampak buruk bagi orang yang bersangkutan atau orang-orang di sekelilingnya. Sebaliknya, bagi yang sudah telanjur nakal pada usia berapapun, tak perlu berkecil hati.
Masih ada kesempatan berubah. Terjatuh dalam hidup itu hal biasa. Yang terpenting saat tahu sedang terjatuh harus cepat-cepat bangkit agar bisa tegak berdiri lagi.
Don’t judge a book by its cover. Janganlah menilai seseorang dari luarnya saja. Semuanya masih dinamis karena zaman terus bergerak. Bisa jadi orang yang dianggap nakal ternyata memiliki sisi kebaikan yang luar biasa.
Ada banyak cerita keinsafan seorang preman, bandar narkoba, bandar judi, dan berbagai pekerjaan lain yang dianggap sebagai sampah masyarakat. Terkadang mereka perlu diperhatikan oleh lingkungan sekitar untuk berubah menjadi pribadi yang lebih baik.
Akhirnya, tibalah saatnya menyimpulkan bahwa hidup adalah pilihan. Pilihan yang diambil mencerminkan kualitas pribadi masing-masing. Jika tidak bisa mengawali kehidupan dengan baik, setidaknya bisa mengakhiri dengan hal yang baik. Itu rumus kehidupannya.
Lebih baik terlambat sadar daripada tidak sama sekali. Yang terpenting lagi, jangan sampai menjadi orang yang telat nakal karena itu sangat berbahaya.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 13 September 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)