Esposin, SOLO – Pasal 36 UUD 1945 menyatakan bahasa negara adalah bahasa Indonesia. Pengaturan bahasa Indonesia dalam konstitusi dipengaruhi gerakan politik kebangsaan dan peran bahasa Indonesia pada masa pendudukan Jepang.
Muhamad Yamin dalam Kongres Bahasa Indonesia I di Solo, 25-27 Juni 1938, menyampaikan pendapat yang dapat kita jadikan renungan bersama: Sejarah dan kecerdasan masyarakat menunjukkan bahwa bahasa Indonesia ialah bahasa budaya.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Bahasa Indonesia sebagai bahasa persamaan pertemuan dan persatuan Indonesia, sebagai perkakas rohani dalam beberapa daerah dan bagi anak Indonesia, dan dengan lahirnya kebudayaan Indonesia, maka bahasa Indonesia telah berhubung dengan kebudayaan baru itu.
Bahasa Indonesia, yang merupakan identitas bangsa Indonesia, kini mengalami tantangan yang luar biasa, khususnya dalam penggunaan di ruang publik.
Peningkatan kegiatan sosial dan ekonomi serta pembangunan nasional bersamaan dengan pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyudutkan bahasa Indonesia ke kedudukan yang saling bersaing dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris.
Akhir-akhir ini muncul istilah indoglish yang berarti Indonesia-English untuk menyatakan suatu fenomena bahwa keberadaan bahasa Inggris yang semakin mengancam bahasa Indonesia.
Kongres Bahasa Indonesia masih saja diselenggarakan oleh pemerintah, tetapi itu belum mencerminkan kesadaran kita terhadap sejarah dan masa depan bahasa Indonesia.
Keputusan-keputusan kongres sering hanya tersimpan dalam dokumen-dokumen tebal, sedangkan implementasi sering meragukan. Kongres-kongres memunculkan masalah-masalah, tetapi tidak ada kepastian dalam perwujudannya.
Penggunaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris, semakin menyebar dalam masyarakat, misalnya dalam penamaan makanan, pemberian nama rumah makan, nama warung, dan toko pinggir jalan.
Pengaruh bahasa Inggris sangatlah besar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia. Salah satunya terbukti dengan semakin banyaknya penggunaan bahasa Inggris dalam penulisan menu makanan dan minuman di kafe, rumah makan, atau restoran.
Selain itu, gaya hidup mereka yang berasal dari golongan ekonomi atas sering mengonsumsi makanan yang berasal dari luar negeri atau makanan cepat saji lainnya yang tentu saja dengan nama atau istilah berbahasa Inggris.
Saya pernah bertanya kepada murid-murid kelas V SD tentang arti “pujasera”. Ternyata hampir semua murid yang saya tanya tidak mengenal akronim tersebut. Ketika saya menyebut food court, murid-murid langsung mengerti dan berusaha menjelaskan arti kata bahasa Inggris tersebut dengan wajah bahagia karena sering mengunjungi.
Sebenarnya pujasera tidak terlalu buruk ketimbang food court. Fenomena lain, di pinggir-pinggir jalan, mata kita lebih akrab membaca coffee shop, bakery, street food, dan sebagainya.
Selanjutnya, yang lebih bikin bingung lagi nama makanan yang tertulis di daftar menu: cincau brown sugar, rice bowl beef belly, chocolate, dan sebagainya. Saya duga istilah asing dalam makanan tentu tidak lepas dari pengaruh iklan.
Artinya, iklan yang diperankan artis kenamaan dengan memanfaatkan bahasa yang singkat dan bersifat persuasif tentu lebih mempercepat penyebaran istilah-istilah asing pada nama makanan.
Kita harus khawatir dominasi tersebut akan menggeser kosakata bahasa Indonesia yang merupakan kekayaan budaya yang seharusnnya dijaga, dipertahankan, dan diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Situasi yang pada dasarnya sebagai cerminan dari rendahnya peranan sosial, politik, dan ekonomi yang dimainkan oleh negara kita dibandingkan dengan negara-negara yang mendominasi.
Penggunaan istilah asing secara terus-menerus sehingga menjadi kebiasaan dianggap tidak berpengaruh terhadap masa depan bahasa Indonesia. Sesungguhnya fenemona tersebut dapat mengikis rasa nasionalisme warga negara Indonesia.
Penggunaan bahasa yang kurang tepat, kurangnya rasa cinta terhadap bahasa tanah air, yaitu bahasa Indonesia, dapat mengancam kecintaan warga negara terhadap negara Indonesia.
Peraturan Presiden Nomor Nomor 63 Tahun 2019 tentang Penggunaan Bahasa Indonesia yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 September 2019 mengatur penggunaan bahasa Indonesia dalam penggunaan nama geografi, nama badan hukum, hingga merek dagang.
Kita perlu membaca ulang Pasal 37 ayat (1) regulasi itu yang mengatur bahwa dalam informasi mengenai produk barang atau jasa produksi dalam negeri atau luar negeri yang beredar di Indonesia diwajibkan menggunakan bahasa Indonesia.
Pada ayat (2) diatur bahwa informasi seperti yang dimaksud dalam ayat (1) dapat juga dilengkapi dengan penggunaan bahasa daerah atau bahasa asing sesuai dengan keperluan.
Jadi, secara umum Pasal 37 menyatakan setiap produk yang beredar di Indonesia, baik dari dalam maupun luar negeri, harus menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak bermaksud melarang penggunaan bahasa daerah maupun bahasa asing.
Penggunaan bahasa Indonesia lebih diutamakan, sedangkan bahasa daerah dan bahasa asing digunakan seperlunya saja dan tidak mendominasi. Peraturan tersebut merupakan upaya pemerintah menangani fenomena ruang publik saat ini yang lebih banyak menggunakan bahasa asing, terutama dalam pemberian nama bangunan, lembaga usaha, hingga produk barang atau jasa yang beredar di dalam negeri.
Apabila fenomena tersebut tidak segera diatasi, bisa jadi bahasa asing akan didahulukan, bahkan sangat mungkin terjadi seluruh merek dagang di Indonesia menggunakan bahasa asing.
Oleh karena itu, pengutamaan penggunaan bahasa Indonesia harus diterapkan oleh berbagai pihak. Hal ini bukan berarti penolakan terhadap bahasa asing, tetapi bentuk pelaksanaan amanat undang-undang bahwa bahasa Indonesia harus diutamakan.
Jika sikap abai terhadap pemakaian bahasa asing ini terus berlanjut dimungkinkan akan menjadi sebab “bencana kebudayaan”. Usaha serius mengembangkan bahasa Indonesia secara multiperspektif harus segera dilakukan.
Kita harus berani menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa kebudayaan yang siap menatap masa depan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 28 Agustus 2024. Penulis adalah guru guru SD Al Islam 2, Jamsaren, Kota Solo)