Salah satu masalah kesehatan dunia yang paling penting pada masa modern adalah krisis resistensi antimikroba. Menurut informasi terbaru, 1,27 juta kematian per tahun akibat resistensi antibiotik disebabkan 70% obat antibiotik yang diminum tanpa resep dokter.
Angka-angka ini menunjukkan betapa mendesaknya tindakan tegas menghentikan penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol. Mengapa masalah ini begitu serius? Faktor-faktor apa yang mendorong terjadinya krisis ini? Tindakan apa yang harus dilakukan untuk mengatasi tantangan ini?
Promosi Kick Off Semarak HUT ke-129 BRI, Usung Tema Brilian dan Cemerlang
Resistensi antimikroba terjadi ketika mikroba seperti bakteri, virus, jamur, atau parasit menjadi kebal terhadap obat-obatan yang biasanya efektif mengobati infeksi. Salah satu penyebab utama resistensi adalah penggunaan antibiotik yang tidak tepat, termasuk penggunaan antibiotik tanpa resep dokter.
Ketika antibiotik digunakan secara sembarangan, tidak sesuai dengan indikasi medis, mikroba beradaptasi dan menjadi resisten terhadap obat tersebut. Ini membuat infeksi semakin sulit diobati, memperpanjang durasi penyakit, dan meningkatkan risiko kematian.
Laporan terbaru menunjukkan penggunaan antibiotik tanpa resep menyumbang 70% dari total penggunaan antibiotik yang tidak terkontrol. Angka ini menunjukkan betapa luas masalah ini dan penggunaan obat yang tidak terkendali dapat memengaruhi kesehatan masyarakat secara keseluruhan.
Dengan 1,27 juta kematian per tahun yang terkait resistensi antimikroba, dampaknya sangat besar dan memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak. Wakil Menteri Kesehatan mengungkapkan tidak semua kondisi medis memerlukan penggunaan antibiotik.
Ungkapan ini menekankan pentingnya upaya yang bijak dan selektif dalam penggunaan antibiotik. Dalam banyak kasus, infeksi ringan seperti flu atau pilek disebabkan virus tidak bisa diobati dengan antibiotik.
Kesalahpahaman yang umum di kalangan masyarakat adalah antibiotik solusi untuk segala jenis infeksi, padahal penggunaan antibiotik yang tidak tepat justru dapat memperburuk masalah resistensi antimikroba.
Pendapat Wakil Menteri Kesehatan ini sejalan dengan pandangan banyak ahli medis yang menekankan tidak setiap penyakit membutuhkan antibiotik. Selain tidak efektif, penggunaan antibiotik secara sembarangan untuk kondisi yang tidak memerlukan juga berpotensi membahayakan.
Selain resistensi, penggunaan antibiotik yang tidak perlu dapat mengganggu keseimbangan mikrobioma tubuh yang penting untuk menjaga kesehatan secara keseluruhan. Krisis resistensi antimikroba ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, mudah memperoleh antibiotik tanpa resep dokter. Di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia, antibiotik sering kali dapat diperoleh tanpa pengawasan ketat dari tenaga medis profesional.
Hal ini memudahkan masyarakat membeli dan menggunakan antibiotik secara asal-asalan tanpa mempertimbangkan risiko atau akibat. Kedua, kesadaran dan pengetahuan tentang penggunaan antibiotik yang tepat di kalangan masyarakat rendah.
Banyak orang tidak menyadari penggunaan antibiotik yang tidak tepat tidak hanya menyebabkan resistensi, tetapi juga dapat menyebabkan efek samping yang serius. Pendidikan dan informasi yang lebih baik tentang penggunaan antibiotik yang benar sangat penting untuk mengurangi penyalahgunaan.
Ketiga, praktik yang kurang tepat oleh sebagian tenaga medis, termasuk apoteker. Dalam beberapa kasus, apoteker melayani masyarakat yang membeli antibiotik tanpa resep dokter. Faktor seperti tekanan dari konsumen yang kurang memahami bahaya resistensi antimikroba dan keinginan memberikan pelayanan yang cepat sering kali menyebabkan apoteker mengabaikan prosedur.
Akibatnya, antibiotik yang seharusnya diberikan dengan sangat hati-hati justru menjadi lebih mudah diperoleh. Untuk mengatasi krisis resistensi antimikroba ini diperlukan beberapa upaya yang melibatkan pemerintah, tenaga medis, dan masyarakat umum.
Pertama, pemerintah harus memperketat regulasi penjualan dan penggunaan antibiotik. Penjualan antibiotik tanpa resep harus dilarang secara ketat dan apotek hanya menjual antibiotik dengan resep dokter.
Ini seperti kebijakan di beberapa negara maju, penjualan antibiotik tanpa resep dapat menyebabkan pencabutan lisensi apotek. Di Indonesia telah hadir Strategi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (Stranas AMR) Sektor Kesehatan 2025-2029 yang diharapkan semakin meningkatkan deteksi resistensi antimikroba dan memperkuat pengawasan serta penegakan hukum terkait penggunaan antibiotik.
Kedua, masyarakat perlu diberi edukasi tentang penggunaan antibiotik yang benar dan risiko resistensi. Kampanye informasi yang melibatkan media, sekolah, dan komunitas dapat membantu meningkatkan pemahaman tentang pentingnya mengikuti petunjuk dokter dan menghindari penggunaan antibiotik yang tidak perlu.
Ketiga, dokter dan tenaga medis harus memberikan informasi yang memadai mengenai penggunaan antibiotik dan pengelolaan infeksi. Dokter harus mampu memberikan resep antibiotik yang tepat dan menjelaskan kepada pasien kapan dan mengapa antibiotik diperlukan.
Apoteker harus mematuhi kode etik profesi dengan tidak menyerahkan antibiotik kepada masyarakat tanpa resep dokter. Krisis resistensi antimikroba yang disebabkan penggunaan antibiotik tanpa resep adalah masalah kesehatan global yang memerlukan tindakan segera.
Fakta 70% antibiotik digunakan tanpa resep yang berkontribusi pada 1,27 juta kematian setiap tahun adalah tantangan sangat serius yang memerlukan upaya tertentu untuk mengatasi.
Penegakan hukum yang ketat, edukasi masyarakat, dan peran tenaga medis adalah langkah-langkah kunci untuk menghadapi krisis ini. Hanya dengan kolaborasi dan komitmen semua pihak kita dapat mengurangi dampak resistensi antimikroba dan melindungi kesehatan generasi mendatang.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 September 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Farmasi Universitas Sebelas Maret)