Berselancar di media sosial menjadi kebiasaan banyak warga Indonesia, terutama generasi Z dan milenial. Saya termasuk di dalamnya. Mau tak mau harus diakui media sosial menjadi sumber utama orang mencari informasi, terlepas dari benar tidaknya informasi tersebut.
Instagram menjadi media sosial yang paling sering saya buka setelah X. Saya menggunakan media sosial selain karena alasan pekerjaan juga untuk mencari informasi. Jarang sekali saya mengunggah konten pribadi di media sosial karena menganggap kehidupan pribadi adalah hal yang sangat privat.
Promosi Beri Kemudahan, Sinergi BRI dan Pelni Hadirkan Layanan Reservasi Tiket Kapal
Hal-hal privat bagi saya adalah sesuatu yang berharga, tentu akan saya jaga agar tidak dicuri atau disalahgunakan. Mungkin banyak orang yang berbeda pendapat dengan saya sehingga sangat mudah bagi mereka mengumbar hal-hal pribadi di media sosial.
Baru-baru ini muncul sejumlah feed berisi kutipan berita yang berseliweran di timeline saya yang bikin rasa tidak nyaman dan geregetan. Tidak ada masalah dari sisi penulisan, redaksional, maupun pemilihan berita. Saya lebih mempersoalkan fenomena atau peristiwa yang diberitakan.
Berita itu adalah tentang pemidanaan seorang lelaki berusia 61 tahun di Kota Malang, Provinsi Jawa Timur, bernama Piyono gara-gara memelihara ikan aligator. Konon jumlahnya lima ekor, panjang tubuh ikan itu hampir satu meter tiap ekor.
Ikan buas pemangsa itu ia pelihara di kolam khusus. Kebetulan Piyono memiliki kolam pemancingan. Kadang-kadang kakek tiga cucu itu memfungsikan ikan aligator untuk membersihkan kolam pemancingan.
Ia tidak tahu memelihara ikan invasif itu ternyata dilarang sampai datang petugas dari Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) Denpasar Satuan Wilayah Surabaya. Mereka lantas memusnahkan lima ekor ikan aligator tersebut.
Ternyata persoalan tidak berhenti di situ. Piyono tetap diperkarakan hingga ke pengadilan. Majelis hakim memvonis dia bersalah dan menjatuhi hukuman lima bulan penjara dan denda Rp5 juta subsider satu bulan kurungan.
Tangis Piyono pecah di ruang sidang. Begitu pula anak-anaknya. Sama sekali tak terlintas di benak mereka memelihara ikan saja bisa membawa Piyono ke balik jeruji penjara. Terlebih ikan jenis yang sama masih bebas dijual di Pasar Burung Splendid, Kota Malang.
Ironisnya, kasus yang dialami Piyono tidak bisa diselesaikan lewat jalur restorative justice atau keadilan restoratif. Alasannya karena tidak ada korban sehingga tidak ada pihak yang bisa dimintai untuk berdamai.
Bagi yang belum tahu, keadilan restoratif bisa dipahami sebagai upaya menyelesaikan masalah hukum tanpa melalui jalur pengadilan sepanjang korban bersedia berdamai dengan sejumlah kondisi tertentu.
Tujuannya biar aparat penegak hukum tak disibukkan mengurus kasus pidana yang remeh. Biar penjara juga tidak semakin penuh. Umumnya kasus yang sering diselesaikan lewat jalur "damai" ini adalah pencurian yang nilainya tak seberapa.
Malang, seperti nama kota tempat tinggalnya, Piyono tak bisa menempuh jalur ini untuk menyelesaikan kasusnya. Piyono dinyatakan terbukti melanggar Pasal 88 juncto Pasal 16 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Undang-undang ini mengatur larangan memelihara, memasukkan, mengeluarkan, mengadakan, dan mengedarkan ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, sumber daya ikan, dan/atau lingkungan sumber daya ikan.
Yang dilakukan penegak hukum memidanakan Piyono memang benar secara hukum, namun apakah itu keputusan yang tepat atau bijak? Itu bisa diperdebatkan. Saya termasuk yang mempertanyakan apa signifikansi memenjarakan Piyono.
Untuk memberikan efek jera? Saya rasa dengan dibawa ke kantor polisi dan diperiksa oleh aparat berseragam saja pasti sudah memberikan rasa trauma yang mendalam bagi lelaki tua yang mengidap diabetes tersebut.
Tanpa perlu membawa ke pengadilan, apalagi sampai dihukum penjara, saya yakin Piyono tak lagi berani memelihara ikan aligator. Lantas kenapa sampai dihukum penjara? Polisi dan jaksa kok ya sela temen sampai memproses pidana Piyono.
Apa tidak ada kejahatan yang lebih serius yang bisa ditangani?Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Kota Malang, pada 2023 ada 2.590 kasus kejahatan yang dilaporkan ke kepolisian. Kasusnya macam-macam.
Ada kasus pencurian, pergi tanpa pamit, penipuan, penggelapan, narkoba, sampai pembunuhan. Dari jumlah tersebut hanya 1.746 kasus atau 67,5% yang berhasil diselesaikan hingga akhir 2023. Mbok ya daripada sibuk ngurusi Piyono yang tidak ada korban mending mengungkap 844 kasus lainnya.
Rasa keadilan masyarakat memang menjadi sesuatu yang mewah di negara ini. Kita lebih suka mengurusi hal-hal remeh ketimbang persoalan substansial seperti korupsi, pemerkosaan, pembunuhan, dan lainnya.
Anda pasti ketawa getir ketika membaca berita Polda Bali memecat sembilan anggota karena melakukan tindak kejahatan, perzinaan, dan penyalahgunaan narkotika pada Rabu (11/9/2024). Sepanjang berita yang saya baca dari sejumlah portal berita nasional, sembilan polisi itu hanya dijatuhi hukuman pemecatan.
Hukuman lain seperti penjara? Saya tidak membacanya di berita-berita yang beredar. Mudah-mudahan memang karena tidak dipublikasikan saja, tapi sebenarnya ada hukuman lain di luar pemecatan.
Kalau hukumannya sekadar pemecatan atas perbuatan zina, penyalahgunaan narkotika, atau kejahatan lain tentu ini mencederai rasa keadilan masyarakat. Mencederai perasaan kakek Piyono dan keluarganya.
Cerita-cerita seperti ini sudah semacam de javu yang kerap berulang. Beda perlakuan hukum antara warga biasa dengan aparat, apalagi pejabat, menjadi semacam kelaziman. Hukum bak ikan aligator ketika berhadapan dengan warga biasa, namun menjadi ikan cupang ketika menyangkut aparat dan pejabat.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 18 September 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)