Esposin, SOLO – Beberapa tahun terakhir kepemimpinan Presiden Joko Widodo diwarnai serangkaian dinamika politik yang kontroversial, terutama terkait pengesahan dan perubahan undang-undang (UU).
Perubahan-perubahan ini, yang semula diharapkan dapat menjadi penyempurna dan evaluasi terhadap UU sebelumnya, sering kali dianggap oleh publik sebagai langkah yang mereduksi dan mendegradasi substansi serta fungsi hukum.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Survei Litbang Kompas yang dirilis pada Januari 2024 menunjukkan 60,5% responden menilai kebijakan pemerintah, terutama dalam pembentukan UU Cipta Kerja, tidak mewakili aspirasi masyarakat.
Hal ini mencerminkan penurunan kepercayaan publik yang kian memburuk seiring meningkatnya kontroversi seputar UU tersebut. Pembentukan UU Cipta Kerja atau yang lebih dikenal dengan sebutan Omnibus Law menjadi puncak kekecewaan publik terhadap kebijakan pemerintah.
UU ini secara drastis mengubah berbagai ketentuan hukum sebelumnya, menimbulkan kekhawatiran bahwa semangat sentralisasi kekuasaan di dalamnya justru mereduksi prinsip-prinsip desentralisasi yang dahulu diperjuangkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid.
Menurut kajian M.L. Ross and R. Burgess, Centralization and Decentralization in Indonesian Democracy yang terbit di Journal of Southeast Asian Studies (2020), sentralisasi yang dilakukan melalui kebijakan semacam ini dapat mengakibatkan pelemahan kekuatan pemerintahan daerah yang berujung pada penurunan kualitas tata kelola pemerintahan lokal.
UU Cipta Kerja juga membawa dampak negatif bagi kelompok buruh, seperti ancaman penghapusan pesangon, berkurangnya perlindungan dari tenaga kerja asing (TKA), penghapusan upahmiinimum kota/kabupaten (UMK), penambahan jam kerja tanpa hitungan lembur, dan penghapusan batasan kontrak tiga tahun yang memungkinkan outsourcing berlangsung tanpa batas waktu yang jelas.
Fair Labor Association (2022) mencatat kondisi semacam ini dapat menurunkan kesejahteraan buruh dan meningkatkan ketidakpastian pekerjaan yang pada akhirnya memperburuk ketimpangan sosial.
UU Cipta Kerja juga mengancam perlindungan lingkungan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH).
Dalam kajian M. Mulyani dan A. Sahide, Environmental Governance under Omnibus Law in Indonesia (2023), sentralisasi izin lingkungan dapat membuka celah bagi praktik obral izin atas nama pembangunan dan investasi sehingga meningkatkan risiko kerusakan lingkungan.
Zonasi ruang dan lahan yang diatur dalam kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) juga menjadi rentan untuk dianulir demi kepentingan pusat yang bertentangan dengan prinsip-prinsip keberlanjutan.
Dalam satu tahun terakhir, menjelang Pemilu 2024 hingga pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024, terjadi lagi permainan politik yang melibatkan perubahan undang-undang.
Mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengubah batas usia pencalonan presiden, hingga rencana Badan Legislasi DPR mengesahkan RUU tentang Perubahan UU Pilkada.
Semuanya memperlihatkan perubahan hukum dipakai sebagai alat untuk mengeliminasi batasan-batasan. Akibatnya tensi politik meningkat dan masyarakat dari berbagai kalangan terpolarisasi, menunjukkan aksi penolakan melalui media sosial maupun demonstrasi di jalanan.
Indonesia dikenal sebagai negara demokrasi yang menganut sistem trias politika. Lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif seharusnya saling mengawasi dan menyeimbangkan kekuasaan.
Belakangan ini pilar-pilar demokrasi tersebut tampak kehilangan esensi. Robert A. Dahl dalam buku Democracy and Its Critics (1989) menyatakan mekanisme checks and balances merupakan elemen kunci dalam menjaga agar demokrasi tetap berjalan sesuai prinsip-prinsip dasar.
Sayangnya, dalam konteks dinamika politik Indonesia dewasa ini, hal ini justru semakin terpinggirkan. Fungsi legislatif sebagai pengawas eksekutif kini lebih sering berperan sebagai pendukung kebijakan pemerintah.
Eko Prasetyo dalam jurnal Indonesian Political Review (2023) mengemukakan DPR cenderung melemah dalam menjalankan fungsi kontrol, sering kali lebih memilih meloloskan undang-undang yang diusulkan eksekutif tanpa kritik berarti.
Kondisi ini memperlihatkan lembaga legislatif telah kehilangan peran kritis dalam sistem demokrasi. Lembaga yudikatif yang diharapkan menjadi benteng terakhir penegakan hukum dan keadilan juga tidak lepas dari sorotan.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan gugatan tentang batas usia calon presiden dan calon wakil presiden yang membuka jalan bagi putra sulung Presiden Joko Widodo untuk mencalonkan diri, meski usianya tidak mencukupi menurut UU sebelumnya, memperlihatkan rapuhnya independensi lembaga ini.
Simon Butt dalam Judicial Review in Indonesia (2021) menyatakan ketundukan yudikatif pada tekanan politik dapat menggerus kepercayaan publik terhadap sistem peradilan.
Lembaga penegak hukuam lainnya, seperti Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), juga menghadapi tantangan besar dalam menjalankan fungsi mereka.
I. Hadiprayitno dalam Political Interference and the Decline of Law Enforcement in Indonesia yang terbit di Asian Journal of Law and Society (2022) mengemukakan intervensi politik yang berlebihan terhadap lembaga-lembaga ini mengakibatkan menurunnya efektivitas penegakan hukum serta meningkatnya upaya kriminalisasi terhadap kelompok yang dianggap sebagai ancaman bagi kekuasaan.
Muruah Demokrasi
Dalam menghadapi situasi ini, seluruh elemen pemerintahan—eksekutif, legislatif, dan yudikatif—perlu melakukan introspeksi mendalam dan kembali menjalankan fungsi serta tanggung jawab mereka dengan benar.Eksekutif harus menggunakan kekuasaan secara bijak dan transparan serta menghormati prinsip-prinsip hukum dan mekanisme checks and balances.
Legislatif, sebagai representasi rakyat, harus memperkuat peran dalam mengawasi eksekutif dan memastikan proses legislasi berjalan dengan transparansi dan dengan partisipasi yang memadai.
Yudikatif harus menjaga independensi dan integritas agar tetap menjadi benteng terakhir yang melindungi demokrasi. Selain itu, lembaga penegak hukum seperti Polri dan KPK perlu menegaskan kembali peran mereka sebagai penjaga keadilan tanpa dipengaruhi oleh kepentingan politik.
Reformasi menyeluruh di setiap sektor pemerintahan, perubahan budaya politik, dan peningkatan partisipasi masyarakat sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam How Democracies Die (2018) menyatakan demokrasi yang kuat hanya bisa bertahan jika ada komitmen dari semua pihak untuk menjaga aturan main yang telah disepakati.
Hanya dengan kembali pada jalur yang benar dan mengutamakan kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara di atas segala-galanya, kepercayaan publik terhadap sistem politik dan pemerintahan dapat dipulihkan.
Tujuan utama pendirian negara Indonesia, yaitu untuk menyejahterakan seluruh rakyat, dapat tercapai jika komitmen bersama untuk menjaga muruah dan fungsi dari setiap pilar demokrasi terus ditegakkan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 2 September 2024. Penulis adalah dosen Program Studi Rekayasa Infrastruktur dan lingkungan Unika Soegijapranata Semarang)