kolom
Langganan

Tingkat UKT Tak Sesuai Tingkat Hidup - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Teriesta Nuzul Ardani  - Espos.id Kolom  -  Kamis, 11 Juli 2024 - 20:39 WIB

ESPOS.ID - Teriesta Nuzul Ardani (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO – Suatu hari saya  bekerja kelompok di perpustakaan bersama teman-teman. Salah satu topik pembicaraan kami tentang uang kuliah tunggal atau UKT. Saya mengeluh karena UKT saya termasuk tinggi dan tidak sebanding dengan penghasilan orang tua saya.

Ternyata banyak teman saya yang mengalami hal serupa. Salah seorang teman saya menyeletuk bahwa ada temannya yang membayar UKT tergolong rendah, hanya Rp900.000. Rentang selisihnya jauh sekali dengan UKT yang harus dibayar kawan saya itu, yaitu Rp5.575.500.

Advertisement

Apabila ditinjau dari ekonomi keluarga, mahasiswa yang membayar UKT Rp900.000 itu termasuk anggota keluarga sangat mapan dan mampu, apalagi dia anak tunggal. Keluarganya memiliki lahan yang luas dengan penghasilan cukup besar dan rumah mewah bak artis ternama.

Sedangkan teman saya yang membayar UKT Rp5.575.500 hanyalah anak penjaga SMA dan guru SD golongan rendah. Teman saya ini memiliki adik yang masih duduk di bangku SD dan ibunya hanya pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK bukan pegawai negeri sipil atau PNS.

Advertisement

Sedangkan teman saya yang membayar UKT Rp5.575.500 hanyalah anak penjaga SMA dan guru SD golongan rendah. Teman saya ini memiliki adik yang masih duduk di bangku SD dan ibunya hanya pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja atau PPPK bukan pegawai negeri sipil atau PNS.

Orang tuanya tidak punya simpanan untuk dana pensiun. Sebentar lagi ayah teman saya itu pensiuan. Dia terkadang memikirkan bagaimana cara membayar kuliah sedangkan ayahnya hendak pensiun dan ibunya hanya PPPK yang tidak punya uang pensiun.

Itu masih ditambah keluarga yang memiliki tanggungan dan cicilan yang mengharuskan ekstra hemat demi mencukupi kebutuhan sehari-hari. Realitas ini membuat saya semakin tidak mengerti dengan sistem UKT di perguruan tinggi negeri.

Advertisement

Tentu saja menimbulkan berbagai argumen yang membuat mahasiswa tidak puas. UKT yang sebenarnya untuk meringankan beban mahasiswa yang tidak mampu, nyatanya mlh menimbulkan ketidakadilan yang signifikan.

Ketidaktransparanan proses penetapan UKT membuat mahasiswa yang sebenarnya dari keluarga miskin bisa saja mendapat UKT yang mahal hanya karena perbedaan kategori profesi, misalnya profesi guru dan pekerjaan petani.

Profesi guru sering kali dipandang sebagai profesi yang agung dengan gaji yang tinggi. Petani dipandang sebelah mata sebagai pekerjaan dengan penghasilan pasti di bawah rata-rata. Kenyataanya penghasilan petani sangat mungkin lebih besar daripada penghasilan guru.

Advertisement

Jangan hanya memandang pada profesi, namun lihatkan penghasilan sesungguhnya. Anak guru golongan rendah sering kali mengalami ketidakadilan dalam penetapan UKT karena pendapatan pegawai negeri yang lebih transparan sehingga kampus lebih mudah mengakses datanya daripada pedapatan petani yang tidak tercatat dengan baik.

Kalau begini, saya sungguh merasa kasihan dengan anak guru golongan rendah dan ingin kuliah, tetapi malah khawatir mengingat harus membayar UKT mahal karena orang tua  adalah pegawai negeri. Ini berdampak pada kesehatan mental mahasiswa dan keluarga yang disebabkan stres finansial akibat keberatan dengan sistem UKT.

Ini masih ditambah stigma mahasiswa yang mengikuti seleksi mandiri adalah orang kaya. Ini bukanlah hal yang sepenuhnya betul. Banyak orang tua yang mengikutkan anak di seleksi mandiri karena benar-benar berharap anak bisa sekolah di perguruan tinggi negeri.

Advertisement

Mereka melakukan berbagai cara agar bisa mendapatkan biaya untuk anak kuliah di perguruan tinggi negeri. Banyak orang tua yang meminjam uang di bank hanya untuk mendaftarkan anak di perguruan negeri melalui seleksi mandiri ini.

Ketika lulus lewat seleksi mandiri, UKT yang menjadi beban sangat tinggi. Ini menambah beban orang tua yang awalnya kepepet meminjam uang di bank untuk mendaftarkan anak lewat seleksi mandiri ternyata berakhir harus menanggung UKT yang sangat mahal.

Ketika mendaftar lewat seleksi jalur mandiri mereka harus membayar sumbangan yang cukup tinggi, kemudian masih ditambah beban UKT yang mahal juga. Tentu saja ini menjadikan orang tua menjadi kewalahan membiayai anaknya kuliah, padahal orang tua sejak awal berharap mendaftarkan anak di perguruan tinggi negeri agar lebih ringan biaya selama kuliah.

UKT terus menjadi isu kompleks di perguruan tinggi negeri di Indonesia yang membutuhkan pendekatan hati-hati dan mendalam. Sampai saat ini setiap penerimaan mahasiswa baru pasti isu mengenai kenaikan UKT selalu mengemuka dan menjadi berita panas di lingkungan mahasiwa.

Kenaikan UKT yang tidak diimbangi beasiswa atau bantuan yang memadai bisa menyebabkan kesenjangan sosial. Hanya mahasiswa dari keluarga kaya yang bisa melanjutkan pendidikan tinggi tanpa hambatan finansial.

Saat ini Kartu Indonesia Pintar Kuliah atau KIP-K yang ditunjukan bagi mereka yang berasal dari keluarga miskin nyatanya banyak yang salah sasaran. Saya berharap kontroversi ini dapat ditindaklanjuti dan diatasi agar pendidikan di Indonesia dapat terus berkembang dengan baik.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Juli 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Sebelas Maret)

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif