Esposin, SOLO – Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) kembali membuat blunder. Keputusan kontroversial itu adalah tiba-tiba menghentikan Liga 2 musim 2022-2023 dan Liga 3 nasional.
Keputusan itu tidak diikuti dengan penghentian Liga 1 musim 2022-2023, kasta tertinggi kompetisi sepak bola di Indonesia. Liga 1 dibiarkan tetap berjalan, meskipun secara tidak wajar karena sporting merit atau sistem promosi dan degradasi dihilangkan.
Promosi Jaga Lingkungan Event MotoGP Mandalika, BRI Peduli Berhasil Kelola 22 Ton Sampah
Liga 1 adalah kompetisi sepak bola profesional yang seluruh elemen, termasuk federasi dan operatornya, harus mengedepankan nilai-nilai profesional. Akan tetapi, itulah realitasnya.
PSSI untuk kali kesekian justru menjadi pihak yang menodai profesionalitas jika tidak mau dikatakan sebagai perusak sepak bola di negeri ini. Wajar ketika Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan beberapa waktu lalu menyimpulkan dan kemudian merekomendasikan PSSI dan stakeholders Liga 1 tidak profesional.
Ketidakbecusan mengelola tata sepak bola Indonesia sudah berlangsung selama bertahun-tahun dan kini hal itu terjadi lagi. Berbagai blunder PSSI itu menjadi akar permasalahan sepak bola nasional.
Peniadaan degradasi di Liga 1 jelas merupakan kemunduran, padahal tata kelola sepak bola nasional yang baik akan melahirkan tim nasional yang baik pula. Kalau ditelusuri secara historis tim nasional sepak bola Indonesia sudah lama tak berprestasi.
Di tingkat Asia Tenggara, tim Garuda masih tertatih-tatih. Enam kali masuk final, enam kali pula Indonesia hanya menjadi runner-up di Piala AFF. Sedangkan di SEA Games, tim nasional sepak bola Indonesia hingga saat ini masih puasa gelar sejak menjuarai SEA Games pada 1991.
Berbagai upaya sudah dilakukan, seperti mencari pelatih berkualitas serta menjalankan program naturalisasi. Namun, trofi itu tak kunjung datang. Berarti ada yang salah dengan PSSI dalam mengelola sepak bola di dalam negeri.
Kompetisi Profesional
Visi itu utamanya adalah membangun kompetisi dan klub secara profesional. Indonesia sebenarnya sudah memiliki parameter menciptakan kompetisi dan klub profesional, antara lain, klub peserta liga harus memiliki aspek legal, infrastruktur, finansial, sumber daya manusia, dan supporting.
Dalam praktiknya berbagai syarat itu dilanggar. Terjadi permakluman-permakluman yang membuat peserta liga sebenarnya dipaksa menjadi sebuah klub profesional. Peniadaan degradasi jelas bertentangan dengan muruah kompetisi yang kental dengan persaingan dan terdiri atas berbagai level.
Jika hanya Liga 1 yang bergulir, tidak ada kans pemain maupun klub di level bawah naik kasta. Demikian pula sebaliknya, pemain maupun klub dengan performa buruk di Liga 1 akan tenang-tenang saja karena tidak akan terdegradasi.
Tanpa degradasi, kompetisi menjadi kurang gereget karena hanya tim-tim yang berpeluang menjadi juara saja yang akan tampil serius. Tim papan tengah, apalagi papan bawah, akan tampil semaunya karena mereka tidak perlu susah payah untuk membenahi tim.
Berbeda ketika ada degradasi. Semua tim dipaksa berbenah setiap saat agar terhindar dari zona merah dan turun kasta. Artinya, setiap pertandingan menjadi sangat penting bagi seluruh tim di papan atas, tengah, maupun bawah.
Liga 1 tanpa degradasi juga bisa memunculkan ekses negatif seperti pengaturan skor. Tim-tim papan atas bisa saja bermain mata dengan tim-tim yang sudah tidak memiliki peluang menjadi juara.
Terlalu banyak risiko akibat langkah blunder PSSI dengan meniadakan degradasi di Liga 1 ini. Tim-tim Liga 2 dengan massa suporter banyak dan fanatik seperti PSMS Medan, Sriwijaya FC Palembang, hingga Persipura Jayapura harus menunda mimpi mereka kembali ke kasta tertinggi.
Lebih dari itu, sepak bola nasional yang sedang menggeliat dengan kehadiran Shin Tae-yong malah menjadi korban. Indonesia akan dicibir di tingkat internasional, apalagi Indonesia tahun ini menjadi tuan rumah kompetisi akbar Piala Dunia U-20.
Langkah blunder PSSI ini membuat Liga 1 musim 2022-2023 tak hanya tidak profesional. Bisa jadi levelnya malah di bawah turnamen yang masih meniscayakan persaingan antara tim besar dan tim-tim semenjana. Liga 1 tidak lebih hanya sebagai ajang senang-senang dan mengisi waktu yang kita kenal dalam bahasa Jawa sehari-hari dengan istilah golek kringet.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 Juanuari 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)