Korupsi adalah kotoran membandel tersembunyi yang merusak integritas negara Indonesia. Korupsi diibaratkan sebagai alam terlarang kekuasaan, serigala hitam mengintai tanpa ampun, seperti tali yang menjalin, kepentingan dan ambisi saling bersua, membelit harapan kita.
Dalam lorong gelap kejahatan, integritas terjatuh dengan luka yang tak terobati. Korupsi merusak kepercayaan dan keadilan di Indonesia. Korupsi adalah mencuri dana publik yang seharusnya digunakan untuk memajukan negara dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Ini menghambat pertumbuhan ekonomi, menghalangi investasi, dan mengurangi kesempatan bagi rakyat untuk memperoleh layanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan yang layak. Para pelaku korupsi adalah orang-orang berpendidikan, orang berkemampuan materil, orang-orang yang mempunyai kekuasaan, yang dapat memanfaatkan celah hukum dan terorganisasi.
Mereka memanfaatkan dana yang seharusnya digunakan untuk mengurangi kesenjangan antara kaya dan miskin ke kantongnya sendiri. Salah satunya kasus korupsi di sektor pertambangan timah yang merugikan negara sekitar Rp271 triliun. Itu bukan dana yang sedikit.
Masih banyak lagi kasus korupsi yang mengancam integritas negara Indonesia. Mungkin ada beberapa faktor bahwa korupsi di Indonesia sulit diberantas. Di Indonesia korupsi sering terjadi dalam birokrasi pemerintahan atau swasta.
Pemberantasan korupsi lemah, terutama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan sistem hukum serta politik di Indonesia yang masih korup. Mochtar Mas’oed (2003: 170) berpendapat terjadinya korupsi disebabkan faktor kultural dan faktor struktural.
Faktor kultural adalah tradisi pemberian hadiah kepada pejabat pemerintah dan ikatan keluarga serta kesetiaan. Hal ini bisa dikaitkan dengan nepotisme. Dalam masyarakat Indonesia ada kecenderungan lebih mengutamakan kepentingan keluarga dibandingkan dengan kepentingan negara.
Hal ini sering kali menyebabkan pejabat pemerintah lebih loyal kepada keluarga mereka yang dapat mengarah pada praktik korupsi. Faktor struktural adalah posisi dominan dalam birokrasi pemerintah sehingga sering kali lepas dari kontrol masyarakat.
Dalam banyak kasus pejabat pemerintah memiliki kekuasaan yang besar dan tidak diawasi secara ketat sehingga mereka dapat melakukan korupsi tanpa takut konsekuensi. Sebagai contoh kasus Bupati Lampung Selatan Zainudin Hasan yang menjadi tersangka korupsi proyek-proyek infrastruktur dan masih banyak lagi kasus yang berkaitan dengan faktor ini.
Di Indonesia pemberantasan korupsi menjadi agenda paling penting bagi pemerintah karena menurut Indonesia Corruption Watch (ICW) ada 791 kasus korupsi di Indonesia sepanjang tahun 2023. Hal ini menunjukkan Indonesia lemah terhadap pemberantasan kasus korupsi.
Memang sulit memberantas korupsi sampai akar-akarnya. Perlu kolaborasi antara pemerintah dan pihak berbagai sektor. Kridawati Sudhana dalam buku Etika Birokrasi Pelayanan Publik menyatakan upaya pemberantasan korupsi harus melibatkan semua pihak, semua sektor, dan seluruh komponen perumus kebijakan, yaitu pemerintah dan penyelenggara negara lainnya, tidak terkecuali anggota masyarakat secara umum.
Selain itu, perlu strategi atau tindakan yang jelas untuk memberantas korupsi. Robert Klitgaard (2001: 98) ada empat strategi untuk mengatasi korupsi. Pertama, perbaikan gaji. Sebagaimana kita ketahui negara seperti Jepang, Singapura, dan Hong Kong menganut strategi ini.
Dengan memberikan gaji yang lebih maka potensi seorang pegawai melakukan korupsi lebih kecil daripada biaya yang dia tanggung jika tidak melakukan korupsi. Pegawai itu mempunyai insentif (rangsangan) untuk tidak melakukan korupsi.
Kedua, menciptakan sistem hukum yang jelas dan memaksa. Indonesia perlu menciptakan sistem hukum yang tegas dan memaksa. Tujuannya supaya orang takut melakakukan korupsi. Risiko tertangkap harus dibuat sebesar mungkin melalui pengawasan.
Ketiga, menciptakan sanksi moral dan sosial yang kuat. Artinya seseorang yang tertangkap melakukan korupsi akan merasa sangat dipermalukan secara sosial sehingga dia akan rela melakukan harakiri (bunuh diri).
Keempat, membatasi kekuasaan seseorang di sebuah Instansi. Seorang yang bekerja di sebuah instansi tidak diperbolehkan mempunyai hubungan yang terlalu monopolistis dengan klien yang dilayani. Kalau seseorang itu mempunyai kekuasaan yang terlalu besar terhadap klien, kecenderungan berbuat korup akan lebih besar.
Itulah beberapa pemahaman, faktor penyebab, dan strategi untuk mengatasi korupsi yang dikatakan oleh Robert Klitgaard. Indonesia harus serius mengatasi korupsi karena ketika korupsi di Indonesia diatasi akan membantu pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 17 September 2024. Penulis adalah mahasiswa Program Studi Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga)