Esposin, SOLO – Indonesia adalah salah satu negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang aktif dalam perumusan sasaran Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs) sebagaimana tertuang dalam dokumen Transforming Our World: The 2030 Agenda for Sustainable Development.
SDGs adalah agenda pembangunan yang disusun dan dilaksanakan dengan tujuan mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kesejahteraan, dan melindungi lingkungan yang ditargetkan terwujud pada 2030.
Promosi Kompetisi BRI Liga 1 Ciptakan Perputaran Ekonomi hingga Rp10,4 Triliun
Pelaksanaan SDGs di Indonesia diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Guna mewujudkan tujuan SDGs nasional secara efektif dan menyeluruh, SDGs nasional diturunkan menjadi SDGs desa.
Pelaksanaan SDGs desa diatur dalam Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pedoman Umum Pembangunan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa.
Penurunan SDGs nasional menjadi SDGs desa dilakukan dengan pertimbangan sebagian wilayah Indonesia berupa desa dan terdapat banyak desa di Indonesia. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan SDGs nasional, desa memiliki posisi, peran, dan potensi strategis.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023, jumlah desa/kelurahan di Indonesia sebesar 83.971. Dalam pelaksanaan SDGs, salah satu tantangan yang harus dihadapi adalah arus urbanisasi yang terus meningkat.
Menurut laporan Bank Dunia (World Bank) berjudul Realizing Indonesia’s Urban Potential, ledakan urbanisasi di Indonesia terjadi pada 1980–1990. Bank Dunia memproyeksikan pada 2045 jumlah penduduk Indonesia di perkotaan akan mencapai 70%.
Sedangkan BPS memperkirakan pada 2035, jumlah penduduk di perkotaan akan meningkat menjadi 66%. Banyaknya jumlah desa di satu sisi dan potensi ketidakseimbangan jumlah penduduk desa dan kota akibat urbanisasi di sisi lain menjadi tantangan dalam pelaksanaan SDGs.
Salah satu komponen penting dan menentukan dalam pelaksanaan SDGs, baik SDGs nasional maupun SDGs desa, adalah data. Dengan data yang akurat dapat diperoleh gambaran objektif mengenai keadaan dan persoalan yang dihadapi, kebutuhan yang harus dipenuhi, serta potensi yang dimiliki guna mewujudkan tujuan SDGs.
Persoalan akurasi data hingga saat ini masih menjadi masalah klasik dalam penyelenggaraan dan pengelolaan data di Indonesia, termasuk data di desa. Salah satu penyebabnya adalah belum meratanya sumber daya manusia yang berkualitas di desa.
Selain itu, adanya kesenjangan kualitas sumber daya manusia antara wilayah perdesaan dengan perkotaan juga berpengaruh terhadap rendahnya kualitas sumber daya manusia di perdesaan.
Menurut data BPS bulan Maret tahun 2023, terdapat 5,11% penduduk desa berusia 15 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah dan sebanyak 12,39% tidak menamatkan pendidikan sekolah dasar (SD).
Sedangkan di perkotaan, penduduk yang tidak/belum pernah sekolah hanya 1,93% dan penduduk yang tidak tamat SD sebanyak 6,62%. Di wilayah perkotaan, angka penduduk usia 15 tahun ke atas yang menamatkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA)/sederajat sebesar 49,16%. Sedangkan di wilayah perdesaan, penduduk yang menamatkan pendidikan SMA/sederajat hanya 27,98%.
Pengembangan Kapasitas
Semakin dinamis dan kompleksnya kehidupan di desa seiring terus meningkatnya pembangunan desa menuntut kemampuan desa menjawab beragam kebutuhan dan persoalan di desa melalui perwujudan tujuan SDGs.Menurut Pasal 3 huruf (a) dan (b) Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020, tujuan pembangunan desa dan perberdayaan masyarakat desa adalah meningkatkan kuantitas dan kualitas pendataan desa sebagai dasar perencanaan pembangunan desa sesuai kondisi objektif desa.
Untuk itulah diperlukan penelitian ilmiah oleh pemerintah desa yang pelaksanaannya membutuhkan tenaga/kader peneliti, terutama dari aparatur pemerintah desa, minimal satu satu desa satu peneliti.
Agar aparatur pemerintah desa mampu meneliti diperlukan pengembangan kapasitas sumber daya manusia, khususnya kepala desa dan perangkat desa. Dengan pengembangan kapasitas diharapkan mampu meningkatkan kinerja dan produktivitas aparatur pemerintah desa sehingga dapat meningkatkan input dan output data desa, baik secara kuantitas maupun kualitas.
Upaya tersebut dapat dilakukan pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sebagaimana diatur Pasal 75 huruf (b) Peraturan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020. Menurut Pasal 80 peraturan menteri itu, pengembangan kapasitas dilaksanakan melalui pendidikan, pelatihan, pembelajaran, penyuluhan, dan pendampingan.
Dalam pengembangan kapasitas aparatur pemerintah desa, kepala desa dan perangkat desa diberi materi tentang SDGs, baik SDGs nasional secara umum maupun SDGs desa secara khusus sesuai keadaan, persoalan, kebutuhan, dan potensi masing-masing desa.
Aparatur pemerintah desa juga perlu diberi keterampilan pendukung lainnya, seperti data science, metodologi penelitian, public speaking, desain komunikasi visual, demografi, dan sosiologi pedesaan.
Dengan keterampilan tersebut, aparatur pemerintah desa diharapkan tidak hanya mampu melakukan pendataan, tetapi juga mampu mengolah data menjadi karya penelitian.
Selain itu, aparatur pemerintah desa juga mampu menulis, mempresentasikan, dan memublikasikan karya penelitiannya. Keberadaan peneliti di setiap desa juga dapat meningkatkan jumlah peneliti dan memeratakan persebaran peneliti di seluruh wilayah Indonesia.
No One Left Behind
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki berbagai bentuk keberagaman, salah satunya keberagaman kondisi geografis. Keberagaman kondisi geografis berpengaruh terhadap keberadaan dan sebaran sarana prasarana pelayanan publik yang hingga kini belum menjangkau seluruh desa di Indonesia.Keadaan tersebut menyebabkan keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, khususnya di desa-desa di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Kekayaan sumber daya alam dan potensi sumber daya manusia di desa belum sepenuhnya dapat dikembangkan karena keterbatasan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia,.
Di samping itu, beberapa persoalan di desa, seperti kemiskinan, tengkes atau stunting, ketahanan pangan, kurangnya tenaga kerja akibat urbanisasi, pengangguran, serta keterbatasan infrastruktur dan akses juga belum sepenuhnya teratasi.
Sebagai lembaga pemerintah yang setiap hari melayani warga, pemerintah desa dinilai lebih mengetahui keadaan, persoalan, kebutuhan, serta potensi desa dan warganya sehingga penelitian ilmiah oleh pemangku kepentingan di desa dapat dilaksanakan sesuai kondisi objektif desa.
Dari penelitian di desa dapat dihasilkan ilmu pengetahuan yang berguna sebagai dasar perencanaan dan pelaksanaan SDGs desa. Berdasarkan perencanaan yang objektif memungkinkan SDGs desa dilaksanakan secara efektif tanpa meninggalkan satu orang pun, khususnya warga tertinggal dan kurang mampu atau miskin.
Hal tersebut sejalan dengan salah satu satu prinsip SDGs, yaitu No One Left Behind. Pelaksanaan SDGs desa berbasis penelitian ilmiah diharapkan dapat menjadi pendekatan baru dalam mewujudkan tujuan SDGs desa, capaian SDGs nasional tahun 2030, dan visi Indonesia Emas 2045.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 Agustus 2024. Penulis adalah Perangkat Desa Paseban, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten)