by Redaksi - Espos.id Kolom - Senin, 22 Juli 2024 - 09:55 WIB
Proses pemilihan rektor sejak masa sosialisasi hingga pemilihan berlangsung lancar sekaligus menjadi akhir dari masa-masa UNS tak memiliki rektor definitif selama lebih dari setahun terakhir.
Salah satu tugas utama rektor adalah memajukan ilmu pengetahuan di institusi yang dia pimpin, lewat pendidikan maupun penelitian. Rektor juga harus bisa memberi kontribusi maksimal bagi masyarakat.
Hartono terpilih menjadi rektor di tengah percepatan manajemen UNS di segala lini demi meningkatkan segala hal seiring status sebagai perguruan tinggi negeri berbadan hukum atau PTN-BH yang memiliki otonomi cukup luas untuk mengatur urusan manajemen pengelolaan universitas.
Hartono sebagai rektor baru punya banyak pilihan untuk mengelola dan memimpin UNS. Bisa dan boleh saja sebagai rektor, Hartono mengambil pilihan paling mudah dengan memimpin UNS ”seperti biasanya”, mengelola UNS dalam konsep business as usual, dan sekadar mematuhi regulasi pemerintah.
Pilihan ini bisa jadi adalah jalan paling mudah dan ringan, tak perlu berinovasi segala macam, tak perlu menurunkan UNS dari menara gading, dan tak petlu terlibat menyelesaikan problem-problem sosial, politik, budaya, kemasyarakatan bangsa ini yang kian hari semakin kompleks.
Bisa juga Hartono malah memilih jalan lain, yaitu menyadari sepenuhnya kondisi pendidikan tinggi saat ini sebenarnya tidak baik-baik saja. Pendidikan tinggi makin kapitalistis, makin mahal. Tradisi kritis—berbasis kebebasan akademis—makin sering dibungkam.
Banyak universitas terjerembap sekadar berupaya membangun citra—menjadi world class university, misalnya lewat peringkat-peringkat yang kebanyakan artifisial. Makin banyak universitas, demi menguatkan pertautan dengan kekuasaan dan pemodal, mengobral gelar doktor kehormatan, dan, bahkan, gelar profesor kehormatan.
Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), yang menghimpun banyak akademikus kritis di kampus-kampus di Indonesia, mencatat dan mengungkap 11 model pelanggaran kebebasan akademik.
Serangan digital bagi akademikus kritis; teror terhadap mahasiswa kritis dan aksi-aksi mahasiswa; dosen menjadi saksi ahli lalu malah dipidanakan; dugaan korupsi di perguruan tinggi; protes berulang terhadap uang kuliah tunggal dan ancaman kepada mahasiswa.
Kemudian, transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan artikel ilmiah untuk jurnal internasional terindeks Scopus; legitimasi untuk pemerintah dan penundukan ilmuwan, salah satunya menyerang peneliti asing; dan penundukan akademikus untuk melegitimasi proyek-proyek strategis nasional dan konflik agraria.
Memilih menyadari kondisi ini tentu meniscayakan inovasi dan kreativitas mengelola UNS agar tak menjadi bagian dari penurunan kualitas kebebasan akademik tersebut.
Ini jalan sunyi dalam konteks budaya perguruan tinggi kontemporer di Indonesia. Lah, mangga, Pak Rektor Hartono, mau diapakan dan dibawa ke mana UNS dalam lima tahun ke depan…