Esposin, SOLO – Dua pekan terakhir para mahasiswa seantero negeri membara. Di ujung periode kepresidenan Joko Widodo (Jokowi), protes meledak di kampus-kampus besar. Dari depan kompleks parlemen di Senayan, Jakarta, hingga Ternate, Maluku Utara, ban-ban bekas dibakar massa pertanda demokrasi dalam situasi darurat.
Ingar-bingar panggung hiburan memberikan pesan seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Mereka tak peduli—atau bahkan tidak pernah tahu—di banyak tempat demonstran sedang mengalami luka-luka akibat gas air mata dan tongkat pemukul aparat kepolisian.
Promosi Kompetisi BRI Liga 1 Ciptakan Perputaran Ekonomi hingga Rp10,4 Triliun
Protes publik dan kekerasan terhadap demonstran menjadi pola berulang. Yang berulang bukan hanya kekerasan, tetapi juga ketidakacuhan mayoritas publik terhadap perilaku buruk para penyelenggara negara.
Sepanjang lima tahun periode kedua Presiden Jokowi, protes warga meletus di mana-mana. Mereka yang terlibat dalam aksi Reformasi Dikorupsi, protes menolak Undang-undang Cipta Kerja, protes warga Air Bangis di Sumatra Barat, protes warga Desa Wadas di Purworejo, protes warga Pulau Rempang di Batam, hingga protes warga Dago Elos di Bandung, dihadapi dengan kekuatan berlebihan aparat.
Di luar lokasi-lokasi konflik itu, banyak publik yang tak peduli apalagi bersimpati. Baru belakangan sebagian tersadarkan gelombang pemutusan kerja (PHK) dan turunnya standar hidup pekerja setelaj penerapan UU Cipta Kerja.
Hasil Pemilu 2024 menunjukkan pilihan mayoritas warga tidak berubah: memilih kelompok dengan narasi “keberlanjutan”. Fakta-fakta dan analisis yang terangkum dalam film dokumenter Dirty Vote menjelang hari pencoblosan Pemilu 2024 juga tak mengubah pandangan mayoritas pemilih.
Sebagian orang menuding isi film berdurasi lebih dari dua jam itu hoaks. Di Tiktok, Dirty Vote kalah oleh narasi para pembuat konten melalui video-video pendek berdurasi kurang dari satu menit.
Kesimpulannya, mayoritas warga masih sama. Kesadaran tentang ancaman terhadap demokrasi, bahaya normalisasi dinasti politik yang didukung keculasan para elite partai politik, dan ancaman jebakan utang hanya menguat di perguruan tinggi. Diskursus serupa yang menyeruak di platform X tak merembes ke Tiktok yang memiliki pengaruh lebih besar di kalangan generasi Z.
Tentu tidak bijak menyalahkan sikap mayoritas warga negara. Sikap demikian tak lepas dari rekayasa sosial secara sistematis melalui berbagai cara. Ada sejumlah kelompok yang bertanggung jawab, yaitu para politikus, akademikus, lembaga survei, dan media massa.
Penelitian Inaya Rakhmani dan Muninggar Sri Saraswati berjudul Authoritarian Populism in Indonesia: The Role of the Political Campaign Industry in Engineering Consent and Coercion menunjukkan peran penting mereka dalam pertarungan Jokowi versus Prabowo Subianto pada 2014 dan 2019.
Dalam publikasi riset yang diterbitkan Journal of Current Southeast Asian Affairs pada 2021 itu, Inaya dan Muninggar menunjukkan sejumlah aktor kunci. Mereka menyebut dua orang konsultan politik, yaitu Budi Purnomo Karjodiharjo dan Eep Saefulloh Fatah.
Budi adalah spesialis public relations dan pemilik Rep+, konsultan atau agensi komunikasi marketing dan media yang juga anggota Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI).
Dia mendukung kampanye Prabowo pada 2014 dan 2019. Meski demikian, reputasi profesionalnya dalam kampanye politik lebih dulu dikenal ketika Jokowi merekrut dalam kampanye pilkada Jakarta 2012.
Eep adalah konsultan politik dan polster yang juga dikenal sebagai pendiri Polmark. Eep mendukung kampanye Jokowi pada pilkada Jakarta 2012. Pada 2014, Eep masih mendukung Jokowi.
Pada 2016 atau menjelang pilkada Jakarta 2017, Eep mendukung kampanye Anies Baswedan yang kala itu menjadi rival Basuki Tjahaja Purnama (Ahok)—orang dekat Jokowi. Budi dan Eep dalam pemenangan Jokowi kala itu, menurut Inaya dan Muninggar, cukup penting di samping peran partai politik pengusung seperti PDIP dan Partai Gerindra.
Salah Nalar
Publik lebih banyak disuguhi pertarungan dua narasi dengan identitas berlawanan yang mengaburkan masalah yang sebenarnya dihadapi publik. Pada Pemilu 2014 lebih banyak diwarnai adu citra artifisial para calon presiden seperti “merakyat” versus “tegas”, “sederhana” versus “elite”, atau baju kotak-kotak versus ala Soekarno.Sedangkan pada pilkada Jakarta 2017 lebih banyak diwarnai sentimen agama dan nasionalisme ketimbang persoalan banjir dan ketimpangan. Pada Pemilu 2019 melupakan fakta turunnya konsumsi rumah tangga hingga penerimaan pajak yang jauh dari target.
Pada Pemilu 2024, para pemilih yang mayoritas generasi Z dan milenial disuguhi narasi citra baru Prabowo Subianto yang bersahabat dan gemoy, jauh dari citra pelanggaran hak asasi manusia pada masa lalu.
Sebagian besar juga tak peduli sang calon presiden menggandeng pasangan yang baru saja mendapat karpet merah dari skandal di Mahkamah Konstitusi. Bagi mereka, pesta demokrasi tak lebih dari pertarungan citra dan identitas seperti yang diamplifikasi banyak media massa arus utama.
Demokrasi masih terlalu abstrak untuk dipikirkan. Pada saat yang bersamaan, publik dilanda kelesuan ekonomi, daya beli turun, dan kian sulit mendapatkan pekerjaan formal.
Menurut catatan Badan Pusat Statistik (BPS), hampir 10 juta penduduk berusia 15 tahun hingga 24 tahun atau generasi Z menganggur. Ini sejalan dengan hasil survei nasional Indikator Politik Indonesia pada 20-24 Juni 2023 yang menunjukkan masalah mendesak di mata publik, yaitu harga kebutuhan pokok (27,7%), lapangan kerja (21,2%), dan kemiskinan (11,8%).
Hampir tidak ada yang mengkhawatirkan kebebasan berpendapat atau demokrasi. Ini menunjukkan publik tak bisa menghubungkan pelemahan demokrasi dengan masalah ekonomi rumah tangga yang kian pelik.
Mereka sadar sedang menghadapi masalah besar, tetapi tetap memilih calon-calon bermasalah saat pemilu atau pilkada. Kegagalan memahami masalah dan penyebabnya ini adalah salah satu akibat cacat logika (logical fallacy) yang melanda cara berpikir manusia.
Cacat logika bisa disebabkan kemampuan intelektual yang kurang sehingga mudah terbawa kesalahan nalar. Contoh kesalahan nalar adalah respons terhadap politik berbiaya tinggi dalam setiap pilkada.
Alih-alih menciptakan transparansi dana kampanye, sejumlah politikus mengusulkan agar kepala daerah dipilih oleh DPRD seperti pada masa Orde Baru. Contoh lain adalah usulan memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi dengan dalih dunia usaha baru bangkit setelah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
Jelas tidak ada hubungan antara masa jabatan seorang presiden dengan kebangkitan dunia usaha pascapandemi. Masalahnya, kesalahan nalar itu kerap diembuskan para politikus bersama pendengung mereka.
Kesalahan itu diembuskan berulang-ulang sehingga seolah-olah masuk akal. Di sinilah peran akademikus dan media massa memberikan narasi perlawanan alih-alih masuk dalam barisan pendengung kesalahan nalar.
Praktik dinasti politik semestinya menjadi titik balik kesadaran para akademikus dan pelaku media agar tak lagi berada di belakang para aktor politik. Jika tidak, semua akan berulang entah sampai kapan.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 4 September 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)