Esposin, SOLO - Perubahan iklim menjadi isu penting dalam diskusi global tentang keberlanjutan. Sumber energi menjadi salah satu hal yang disoroti karena berkontribusi banyak terhadap berbagai jenis polusi.
Sumber energi dari fosil masih mendominasi lanskap energi Indonesia. Sumber energi yang berasal dari fosil, seperti minyak bumi dan batu bara dianggap jauh dari kata “keberlanjutan”. Pemerintah Indonesia memiliki cita-cita keberlanjutan energi melalui PP No.79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), di mana bauran energi primer nasional ditetapkan minimal sebesar 23% pada tahun 2025 dan 31% pada tahun 2025. Akan tetapi, apakah benar cita-cita tersebut dapat tercapai? Apakah Indonesia dapat mengubah lanskap energinya dan menjadi negara pionir untuk energi hijau?
Promosi Berlimpah Hadiah, BRImo FSTVL Hadir Lagi untuk Pengguna Setia Super Apps BRImo
Pembahasan terkait transformasi ke energi hijau merupakan kajian yang terus dilakukan oleh Riset Grup Rekayasa Industri dan Tekno-Ekonomi (RG-RITE) Fakultas Teknik UNS. RG-RITE telah melakukan riset terkait penggunaan energi hijau, seperti panel surya dan pembangkit listrik tenaga sampah.
Pada kesempatan ini, RG-RITE melalui mata kuliah Program Magister Teknik Industri, yaitu Sistem Logistik dan Rekayasa Bisnis melakukan tinjauan terkait terobosan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) sebagai pembangkit listrik untuk menggantikan bahan bakar berbasis fosil. EBT yang dikaji pada kesempatan ini adalah mikroalga.
Tentu para pembaca masih cukup asing dengan mikroalga. Apa mikroalga itu? Dan apakah benar mikroalga dapat menjadi kunci penting dari terobosan energi bersih di Indonesia? Mari simak hasil tinjauan penulis.
Salah satu EBT yang potensial sebagai pembangkit listrik di masa depan adalah bio-elektrik melalui penggunaan biofuel. Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari minyak nabati tumbuhan atau lemak hewani. Biofuel bukanlah hal yang asing di Indonesia karena pemerintah juga aktif mengembangkan biofuel.
Biofuel yang populer di Indonesia adalah yang berasal dari kelapa sawit atau dikenal juga sebagai crude palm oil (CPO). Pemerintah Indonesia melalui Pertamina dan Kementerian ESDM memiliki roadmap untuk menggunakan CPO pada campuran minyak diesel biasa melalui program B20, B30, dan B100.
Akan tetapi, budi daya kelapa sawit untuk menjadi biofuel memerlukan lahan yang sangat luas dan membutuhkan pembukaan lahan yang berpotensi besar merusak lingkungan. Solusi penggunaan lahan tersebut dengan pembudidayaan sumber biofuel dari tumbuhan selain kelapa sawit.
Salah satu opsi yang dapat menjadi solusi sumber biofuel selain kelapa sawit adalah pengembangan EBT yang berasal dari mikroalga. Mikroalga adalah organisme mikroskopis yang ditemukan di lingkungan air tawar dan air laut, muncul sebagai sumber energi terbarukan yang layak.
Tumbuhan kecil ini mampu melakukan fotosintesis, mengubah sinar matahari, karbon dioksida, dan nutrisi menjadi biomassa. Proses ini tidak hanya menghasilkan oksigen tetapi juga menghasilkan lipid yang dapat diubah menjadi biofuel.
Biofuel tersebutlah yang akan digunakan sebagai sumber energi listrik. Studi literatur menunjukkan bahwa tumbuhan mikroalga memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan kelapa sawit karena mampu menghasilkan minyak nabati yang jauh lebih tinggi pada luas lahan pembudidayaan yang sama.
Minyak sawit terbukti mampu diproses untuk menghasilkan biodisel. Tetapi beberapa penelitian membuktikan mikroalga memiliki potensi yang lebih besar daripada kelapa sawit untuk dijadikan bahan baku biodiesel.
Mikroalga dapat menghasilkan sekitar 20 kali lebih banyak biodiesel daripada minyak kelapa sawit sebagaimana bisa dilihat pada tabel di atas. Keunggulan utama mikroalga adalah kemampuannya untuk tumbuh cepat, menyerap banyak polusi udara dan hanya membutuhkan sedikit lahan serta air bersih. Sebanyak 100 ton biomassa mikroalga dapat menyerap sekitar 183 ton karbon dioksida di udara. Karbon dioksida merupakan zat utama yang dibutuhkan dalam budidaya mikroalga.
Produksi biodiesel berpotensi menggunakan beberapa karbon dioksida yang dilepaskan di pembangkit listrik dengan membakar bahan bakar fosil. Karbon dioksida ini sering kali tersedia dengan sedikit atau tanpa biaya sehingga dapat meminimalkan biaya produksi biodiesel yang dibutuhkan
Selain itu, beberapa jenis mikroalga memiliki kandungan lipid yang tinggi, seperti Schizochytrium sp. yaitu dengan kandungan lemak nabati 50% - 70% sehingga menjadikannya kandidat ideal untuk produksi biofuel. Mikroalga juga dapat berfungsi sebagai biofilter yang efektif dalam pengolahan limbah.
Terdapat beberapa jenis mikroalga yang dapat menyerap logam berat dari limbahnya. Sehingga menjadikannya sebagai solusi potensial dalam pengolahan limbah industri. Beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan pengolahan air limbah dengan mikroalga Botryococcus braunii dapat menghilangkan kandungan nitrogen 88% dan kandungan fosfor 98% rata-rata dalam waktu 14 hari.
Berangkat dari keunggulan tersebut, maka pemanfaatan mikroalga sebagai sumber listrik bio-elektrik merupakan hal yang akan sangat menguntungkan. Penulis menawarkan sebuah ide baru untuk pemanfaatan mikroalga, yaitu kawasan Pembangkit Listrik Tenaga Mikroalga (PLTBM) yang terintegrasi.
PLTBM akan menjadi terobosan baru yang dapat memenuhi kebutuhan listrik di Indonesia. Hal ini dapat menjawab tantangan akan ketergantungan sektor energi terhadap bahan bakar fosil. Selain itu, PLTBM dapat mewujudkan pembangkit listrik yang berkelanjutan karena seluruh limbah dari proses produksinya dapat kembali digunakan dan bermanfaat untuk lingkungan.
Sistem pembangkit listrik yang terintegrasi merupakan satu kawasan mencakup seluruh proses pembangkitan listrik menggunakan biofuel mikroalga, mulai dari kultivasi hingga pendistribusian ke pengguna. Kawasan ini mencakup sistem pengolahan limbah dan pusat penelitian guna melakukan kontrol, riset dan pengembangan.
Mikroalga yang telah dipanen dapat langsung diproses menjadi biofuel tanpa melakukan proses distribusi yang memakan waktu lama dan biaya yang besar. Selain itu, gas karbon dioksida yang dihasilkan dari proses pembangkitan listrik akan ditangkap kembali oleh mikroalga dalam kultivasi open pond raceway yang terletak dalam kawasan terintergrasi tersebut sebagai sumber energi untuk melakukan pertumbuhan atau budi daya. Biodiesel yang telah siap menjadi sumber energi listrik kemudian dapat langsung digunakan pada pembangkit listrik dan didistribusikan hingga sampai ke pengguna.
Gagasan kawasan PLTBM yang penulis ajukan sangat berpotensi meningkatkan daya produksi energi listrik, sehingga PLN tidak perlu untuk melakukan pembelian energi dari perusahaan swasta. Berkurangnya pembelian energi oleh PLN akan mengurangi tarif dan menjadikan PLN sebagai perusahaan energi listrik terbesar yang menggunakan EBT.
Potensi biodiesel yang akan diproduksi tahunan dalam lahan kultivasi 500 hektar mencapai 2.464.000.000 liter biodiesel. Satu liter biodiesel mampu menghasilkan energi listrik sekitar 10 kWh. Dengan demikian, potensi energi listrik yang diproduksi dari PLTBM mencapai 24.642 GWh per tahun atau 49,28 GWh per hektare per tahun.
Dibandingkan dengan listrik yang dihasilkan oleh PLN (total energi dibeli dan energi diproduksi) pada tahun 2023 sebesar 323.320,73 GWh, maka luasan lahan yang dibutuhkan untuk budi daya mikroalga agar mampu mengakomodir energi listrik yang dibutuhkan Indonesia secara keseluruhan (100%) adalah seluas 6.561 hektar atau sekitar 65,6 km2. Luasan itu setara dengan 0,2% dari luas Provinsi Jawa Tengah (32.801 km2).
Meskipun memiliki potensi yang besar, pengembangan teknologi pembangkit listrik tenaga mikroalga tidak terlepas dari tantangan. Salah satu tantangan utama adalah biaya investasi awal yang tinggi dan proses budi daya mikroalga yang memerlukan teknologi serta energi yang cukup besar. Metode budi daya mikroalga harus dilakukan dengan paparan cahaya dan nutrisi yang optimal.
Tak kalah penting komersialisasi teknologi dan juga menghadapi tantangan regulasi dan pasar. Tingkat kesiapan teknologi harus mencapai tahap tertentu sebelum dapat diterapkan secara luas di pasaran. Adopsi teknologi ini memerlukan dukungan dari kebijakan pemerintah dan investasi yang cukup signifikan.
Hal yang dapat dilakukan untuk mengatasi tantangan tersebut dengan menerapkan strategi komprehensif dalam pengembangan dan komersialisasi teknologi pembangkit listrik tenaga mikroalga ini. Salah satu langkah penting adalah dengan meningkatkan efisiensi produksi melalui inovasi teknologi, seperti mengembangkan metode budi daya yang lebih efisien dan hemat energi serta teknologi ekstraksi lipid yang lebih murah dan ramah lingkungan.
Selain itu, penting untuk membangun kemitraan strategis dengan berbagai pemangku kepentingan, seperti lembaga penelitian, pemerintah, dan industri terkait. Bentuk kemitraan ini dapat mempercepat transfer teknologi dan meningkatkan adopsi di pasar. Pendekatan lain yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai manfaat mikrolaga sebagai salah satu sumber energi baru terbarukan. Kampanye yang efektif dapat mendorong peningkatan permintaan dan dukungan masyarakat terhadap teknologi ini.
Artikel ini ditulis oleh Mei Susanto dan Satrio Fachri Chaniago, Mahasiswa Program Studi Magister Teknik Industri Universitas Sebelas Maret (UNS).