kolom
Langganan

Omnibus Law Kesehatan - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Kaled Hasby Ashshidiqy  - Espos.id Kolom  -  Senin, 10 Juli 2023 - 09:50 WIB

ESPOS.ID - Kaled Hasby Ashshidiqy. (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO – Protes  besar-besaran berbagai elemen masyarakat—terutama kalangan pekerja—saat proses pembahasan hingga pengesahan Undang-undang Cipta Kerja terjadi lagi. Kini protes yang mengemuka dari kalangan tenaga kesehatan yang memprotes Rancangan Undang-undang Kesehatan.

RUU Kesehatan disusun dengan metode yang sama dengan yang digunakan dalam penyusunan UU Cipta Kerja, yaitu omnibus law. RUU Kesehatan memosisikan kalangan dokter selayaknya buruh di UU Cipta Kerja.

Advertisement

Perlindungan terhadap buruh yang semakin tipis demi memberi karpet merah seluas-luas dan selebar-lebarnya kepada investor juga bakal dialami para dokter. Kurang lebih seperti itu wacana yang mengemuka di tengah protes berbagai elemen tenaga kesehatan terhadap RUU Kesehatan.

Mengutip Bisnis.com, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sejak pertengahan Desember 2021 mengundang para investor asing di bidang kesehatan untuk membangunan rumah sakit di Indonesia.

Undangan itu disampaikan dalam acara The 9th US-Indonesia Investment Summit dengan tema Moving On: Getting Past Covid-19 yang diselenggarakan secara daring. Menteri Kesehatan berrharap investasi rumah sakit asing itu dapat memperkuat kualitas dan distribusi layanan kesehatan sekunder di Indonesia.

Advertisement

”Kami ingin mereformasi rumah sakit, kami ingin memiliki rumah sakit yang cukup dengan distribusi yang bagus, tidak seperti sekarang semuanya terkonsentrasi di Jawa,” kata Budi Gunadi Sadikin kala itu.

Ia berharap investasi asing berupa pembangunan rumah sakit itu sekaligus menghadirkan tenaga kesehatan yang andal dari luar negeri. Dengan demikian, kualitas layanan kesehatan sekunder itu dapat terjaga.

Saya melihat yang disampaikan Menteri Kesehatan itu ada benarnya. Pelayanan kesehatan kita memang harus direformasi. Setidaknya dibenahi dengan serius. Banyak orang tajir Indonesia yang lebih memilih berobat di luar negeri.

Mereka banyak yang berobat di rumah sakit atau fasilitaas kesehatan di negara tetangga dekat, seperti Singapura dan Malaysia. Alasan mereka jelas, pelayanan kesehatan di sana jauh lebih baik dibandingkan pelayanan kesehatan di Indonesia.

Advertisement

Mereka rela mengeluarkan banyak uang demi mendapatkan pelayanan kesehatan yang membuat mereka nyaman. Mereka benar-benar diperlakukan sebagai pasien yang butuh perhatian penuh. Sesuatu yang sulit didapatkan di pelayanan kesehatan di Indonesia, apalagi yang berpelat merah.

Dalam sebuah perbincangan, saya mendengar seorang dokter yang mengklaim kualitas tenaga medis di Indonesia tak kalah dengan dokter di luar negeri. Saya tak membantahnya. Banyak dokter Indonesia yang hebat ilmunya, tapi pelayanan kesehatan yang mereka berikan rasanya masih banyak yang kurang.

Saya bukan orang yang pernah merasakan berobat di rumah sakit di luar negeri. Saya tidak bisa membandingkan kualitas pelayanan di rumah sakit di luar negeri dengan di rumah sakit di dalam negeri.

Saya juga belum pernah dirawat di rumah sakit swasta terkenal yang gedungnya selayaknya hotel bintang lima. Sangat mungkin penilaian atau pendapat saya tak akurat, namun berdasarkan berita dan laporan yang saya baca di media massa maupun media sosial bisa ditarik kesimpulan ada banyak masalah yang terjadi di dunia kesehatan kita.

Advertisement

Masih ingat kasus Prita Mulyasari pada 2017? Ibu rumah tangga itu dikriminalisasi  setelah menceritakan pengalaman tidak menyenangkan saat berobat di Rumah Sakit Omni Internasional. Ia menceritakan keluhan tentang buruknya pelayanan rumah sakit itu kepada rekannya lewat e-mail.

Keluhan itu kemudian tersebar di mailing list (milis). Prita keberatan dengan analisis dokter yang menyebut dirinya terjangkit demam berdarah. Dia merasa ditipu karena dokter kemudian memberikan diagnosis hanya terinfeksi virus udara.

Menurut Prita, dokter memberikan berbagai macam suntikan obat berdosis tinggi. Prita kemudian berniat pindah ke rumah sakit lain. Prita kemudian justru digugat oleh manajemen rumah sakit dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Pelayanan Kurang

Saya pernah mengalami hal tidak menyenangkan saat memeriksakan gigi saya yang bolong di salah satu puskesmas. Saya diminta membuka mulut oleh si dokter gigi yang justru lebih khusyuk bergosip dengan asistennya soal temannya.

Beberapa saat saya dibiarkan begitu saja dengan mulut ternganga dengan alat yang berada di dalam. Karena kelamaan, lidah saya mengeluarkan air liur cukup banyak dan mulai menumpuk membuat tak nyaman, tapi saya tak berani meludahkannya.

Advertisement

Saya menjadi agak jengkel kepada dokter gigi itu, tapi tak berani menyampaikannya. Saya khawatir gigi saya dibor asal-asalan. Mungkin karena saya pasien BPJS. Bisa jadi banyak pasien lain punya pengalaman tak enak juga.

Pemerintah pasti berupaya memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan kita, tapi rasanya belum optimal. Pada Maret 2023, Presiden Joko Widodo menyebut ada dua juta orang Indonesia yang ke luar negeri dalam setahun untuk berobat.

Itu yang hendak diselesaikan pemerintah melalui RUU Kesehatan. Setiap perubahan pasti memberikan ekses, terutama bagi pihak-pihak yang merasa nyaman dan mapan dengan kondisi sekarang.

Kini jumlah dokter spesialis per 1.000 penduduk di Indonesia masih jauh di bawah kebutuhan ideal. Menjadi dokter spesialis itu sulit dan butuh duit banyak. Saya jadi teringat obrolan dengan seorang dokter muda yang bercita-cita menjadi dokter spesialis kulit dan kelamin.

Ia kesulitan menempuh pendidikan spesialis kulit hanya karena jumlah dokter spesialis kulit di Kota Solo sudah banyak. Dia boleh mengambil pendidikan spesialis asalkan bersedia ditempatkan di luar Jawa.

Konon jika terlalu banyak dokter spesialis kulit dan kelamin di lokasi yang sama akan membuat persaingan semakin ketat. Alasan yang aneh. Saya tak ingat persis siapa yang berhak menentukan boleh atau tidaknya seorang dokter umum mengambil pendidikan spesialis.

Advertisement

Lembaga pendidikannya atau organisasi profesi dokter? Yang jelas, pembatasan seorang dokter umum untuk menempuh pendidikan spesialis itu adalah persoalan serius. Mampukah RUU Kesehatan menyelesaikan persoalan itu dan lainnya ketika disahkan menjadi undang-undang?

Kita tidak tahu sampai itu diterapkan. Saya yakin memang perlu ada perubahan pengelolaan bidang kesehatan di negara ini. Apakah omnibus law ini jawabannya? Mungkin saja.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Juli 2023. Penulis adalah wartawan Solopos Media Group)

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif