Esposin, SOLO – Mbah Kodok yang bernama asli Prawoto Mangun Baskoro (meninggal pada Jumat 16 Agustus 2024) adalah fenomena unik dalam lanskap seni (pertunjukan) Indonesia.
Di tengah gegap gempita seni mutakhir yang menghamba ekspose dan popularitas, Mbah Kodok memilih jalan sunyi. Pilihan untuk menjalani kehidupan sebagai seniman penyendiri tidak hanya menunjukkan sikap artistik berbeda, tetapi juga menjadi kritik diam-diam terhadap “budaya bising” dalam seni.
Promosi 2,6 juta Pelaku UMKM Dapatkan Akses Pembiayaan KUR BRI di Sepanjang 2024
Bagi Mbah Kodok, seni tidak harus selalu disorot untuk memiliki nilai. Kadang-kadang esensi justru muncul dari tempat-tempat paling sepi dan wigati, penuh kontemplasi, dan di situ ia berada dan menikmati.
Lagu-lagu Mbah Kodok, seperti Mbulan-mbulan Gedhe (ada pula Mimpi Basah, Anak Jalanan, Wisanggeni, dan lain sebagainya), mengisahkan perenungan tentang hidup, kesederhanaan, dan keikhlasan.
Pada era ketika musik digunakan sebagai komoditas hiburan massal, Mbah Kodok justru menggunakan musik sebagai medium dialog batin. Kesendirian bukan sekadar pilihan hidup, tetapi sebuah metode artistik untuk menciptakan ruang reflektif.
Di balik kesendirian, Mbah Kodok juga mengungkap sisi lain dari dunia seni yang sesak kontradiksi. Keputusan menciptakan seni happening art dengan "menikahi" peri (2014) adalah tindakan provokatif mendekonstruksi batasan konvensional.
Tindakan ini tidak hanya memicu kontroversi, tetapi juga menantang pemahaman kita antara realitas dan fiksi dalam seni. Dalam perspektif ini, Mbah Kodok menggunakan seni sebagai alat mengguncang norma-norma sosial dan mengajak kita mempertanyakan apa yang dianggap wajar dan tidak wajar dalam konteks budaya.
Mbah Kodok juga menampilkan wajah lain dari seni, yaitu menjadi medium untuk mengartikulasikan kritik eksistensial. Karya-karya dia (terutama yang saya ketahui pada musik) dilahirkan dari kesendirian.
Hal ini mengundang pertanyaan: apakah keheningan dan kesendirian adalah teman setia mencipta seni bermakna? Dalam masyarakat seni yang mengagungkan kolaborasi (dan keterhubungan sosial), Mbah Kodok justru menunjukkan bahwa ada kekuatan dalam keterpisahan dan isolasi.
Pendekatan kreatif Mbah Kodok [jika pun bisa disebut demikian], yang berakar pada kesendirian, membuka eksplorasi tentang hubungan antara isolasi dan autentisitas seni. Mbah Kodok menentang tren dengan merangkul kesendirian dan memeluk sunyi, memungkinkan bentuk ekspresi lebih introspektif.
Bagi Mbah Kodok, dalam karya musiknya, isolasi bukan sekadar pelarian dari dunia, melainkan alat untuk menyaring kemurnian pengalaman pribadi ke dalam nada dan bunyi.
Teman Setia
Ia eksis di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah di Kota Solo. Kemampuan mendengarkan [dan memberikan ruang] bagi seniman lain untuk mengutarakan ide mereka menunjukkan bahwa seni bukan hanya tentang ekspresi individu, tetapi juga tentang interaksi dan berbagi.Hal ini adalah bentuk lain dari kehadiran Mbah Kodok. Ia ada dalam ketiadaan dengan menciptakan ruang bagi orang lain untuk ikut dalam balutan orbrolan yang nyaman. Dengan sebotol ciu di tangan, Mbah Kodok hadir tanpa banyak bicara, menjadi pendengar setia siapa pun yang ingin bercerita, tanpa kelas dan kasta.
Mbah Kodok adalah sosok yang mengingatkan bahwa hidup tidak selalu harus memiliki tujuan eksistensial jelas. Dia hidup sederhana dengan baju cenderung lusuh, mencerminkan hidup dengan mengikuti arus, mengalir ke manapun zaman membawa, tanpa perlawanan atau tuntutan.
Gaya hidup tak terikat pada ambisi. Itu membuat dia menjadi cerminan dari kebebasan yang langka di tengah masyarakat yang terobsesi dengan pencapaian atas pengakuan. Penampilan yang demikian juga menjadi simbol keterbukaan.
Ia seolah-olah menjadi “pintu”. Selalu terbuka bagi siapa saja yang ingin mendekat dan bercerita. Pada dunia seni yang penuh dengan hierarki dan status, Mbah Kodok menawarkan ruang tempat seniman dari berbagai latar belakang bisa merasa diterima dan dihargai tanpa syarat.
Dalam percakapan yang terjadi di Wisma Seni, tidak ada topik terlalu sepele atau obrolan terlalu besar untuk dibicarakan. Mbah Kodok tidak menawarkan jawaban pasti, tetapi melalui kehadiran yang hening, ia menciptakan ruang tempat gagasan dapat mengalir bebas.
Ia tak mendistorsi ruang dengan saran dan bualan, tetapi dengan menyediakan telinga, siap mendengar apa saja. Bagi sebagian orang, hidup yang tidak memiliki tujuan jelas bisa dianggap sebagai “penghamburan potensi”.
Mbah Kodok adalah aktor teater piawai dan musikus andal. Mbah Kodok, dalam kacamata ini, dipandang sebagai seseorang yang membiarkan dirinya hanyut dalam arus, tanpa mencoba melawan atau membelokkan arah.
Tentu itu menimbulkan pertanyaan tentang nilai dari kehidupan yang dijalani, lewat cara yang begitu pasif dan bebas dari ambisi dan intervensi. Adakah yang bisa seperti dia?
Di tengah tekanan untuk selalu “menjadi sesuatu” atau “mencapai sesuatu”, Mbah Kodok menawarkan pandangan alternatif bahwa ada nilai dalam menjalani hidup dengan kebebasan, membiarkan diri terbuka terhadap apa yang ditawarkan oleh waktu.
Dengan tidak mengikat diri pada tujuan yang kaku, Mbah Kodok justru menunjukkan bentuk lain kekuatan untuk menerima dan beradaptasi dengan yang terjadi, tanpa kehilangan esensi diri. Dengan demikian, Mbah Kodok tetaplah Mbak Kodok, tidak berubah sedikitpun seiring zaman.
Dalam dunia yang terus-menerus mendorong kita untuk berlari lebih cepat, mencapai lebih banyak, Mbah Kodok hadir sebagai antitesis. Ia tidak terjebak dalam siklus ambisi eksistensial tanpa akhir atau upaya untuk terus mendefinisikan ulang identitas.
Mbah Kodok mengajarkan kita bahwa ada keindahan dalam keteguhan, dalam kemampuan untuk tetap setia pada diri sendiri, dan dalam kebebasan untuk menjalani hidup tanpa tekanan untuk menjadi sesuatu yang lain.
Nyanyian Terakhir
Ketika malam tiba, sinar rembulan berpendar, Mbah Kodok mengambil gitar, memetik senar dengan langut, meneguk ciu dalam dahaga. Lagu-lagu dia nyanyikan, lirik-lirik tidak ditujukan untuk siapa pun kecuali dirinya sendiri.Lirik itu tidak didistorsi ke narasi yang mudah dipahami karena bagi Mbah Kodok kata-kata dalam nyanyian bukanlah sekadar bahasa yang harus dimengerti orang lain. Ada upaya membangun sisi transendental.
Jika ada Tuhan dalam hidup, nyanyian adalah bentuk doa, sebuah percakapan yang tidak memerlukan jawaban atau pemahaman. Jika Tuhan tidak juga hadir, nyanyian itu mungkin adalah bentuk meditasi atau refleksi imaji paling puncak.
Nyanyian Mbah Kodok menjadi cerminan dunia batin, sebuah dunia yang mungkin hanya dapat ia jelajahi dan pahami sendiri. Mbah Kodok, sang seniman penyendiri, mengakhiri perjalanan hidup pada usia 73 tahun.
Ia meninggalkan persahabatan tanpa batas, meninggalkan refleksi tentang antitesis dari eksistensialisme diri. Sejak awal, ia memilih jalan untuk "menjadi tidak ada". Dalam kematianmu, engkau tetap memberikan pelajaran tentang arti sejati kebebasan dan keberadaan, kepada dunia yang semakin kehilangan makna.
Suaramu parau, menyanyi dalam hening, menjadi jalan membuka kefanaan dan kehidupan lebih abadi. Seniman yang selalu bernyanyi untuk pergi dan akhirnya benar-benar melangkah keluar dari panggung kehidupan. Selamat jalan, Mbah Kodok.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 24 Agustus 2024. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di Institut Seni Indonesia Solo)