Esposin, SOLO – Semakin bertambah usia kemerdekaan Indonesia, semakin banyak orang lupa (melupakan), bahkan tidak tahu (tidak mau tahu), bahwa proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia itu sebenarnya sebuah peristiwa yang penuh mistis.
Konsep mistisisme dalam peristiwa proklamasi itu karena dalam peristiwa itu ada komponen spiritual dan bersifat kontemplatif. Mistisisme dikenal secara populer sebagai penyatuan dengan Tuhan atau Yang Mutlak.
Promosi Beri Kontribusi Nyata, BRI Peduli Adakan Pemeriksaan Kesehatan Gratis
Mengapa peristiwa proklamasi kemerdekaan Indonesia waktu itu sebuah mistisisme? Karena rangkaian peristiwa sejarah seputar proklamasi saat itu adalah misteri. Sejak awal Agustus 1945 belum ada satu orang pun yang tahu proklamasi itu akan terjadi pada 17 Agustus 1945.
Sukarno sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoensia (PPKI) yang didirikan sejak 7 Agustus 1945 (satu hari setelah bom atom Sekutu dijatuihkan di Kota Hiroshima) juga tidak pernah merencanakan 17 Agustus 1945 sebagai hari proklamasi kemerdekaan.
Setelah bom atom kedua dijatuhkan Sekutu di Kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945, ada tiga orang anggota PPKI (Sukarno, Muhammad Hatta, dan Radjiman Widyodiningrat) dipanggil Panglima Perang Tertinggi Jepang Wilayah Selatan (Asia Tenggara) Jenderal Besar Terauchi Hisaichi di Dalat.
Mereka tidak tahu ada apa dipanggil Terauchi. Tiga tokoh berangkat ke Dalat pada 9 Agustus 1945 secara rahasia. Buku karya Cindy Adam, Bung Karno, Penyambung Lidah Rakyat (2007), menjelaskan Sukarno mengatakan ia berangkat pada pukul 05.00 WIB secara rahasia.
Ada perintah dilarang memberi tahu keberangkatan itu kepada siapa pun, meski keluarga sendiri. Dalam pertemuan dengan Terauchi di Dalat pada 12 Agustus 1945, tiga tokoh tersebut diberi tahu bahwa Jepang segera memerdekakan Indonesia.
Bung Hatta begitu mendengar pernyataan Terauchi dalam hati kecilnya menganggap kemerdekaan yang disampaikan Terauchi itu sebagai peristiwa spesial karena dikatakan bertepatan dengan hari ulang tahunnya, yaitu 12 Agustus, sebagaimana tertulis dalam buku otobiografi Untuk Negeriku, Sebuah Otobiografi (2011).
Sukarno sebagaimana dapat dibaca dalam buku Kronik Revolusi Indonesia Jilid I (Pramoedya Ananta Toer, 1999), menyampaikan keinginan tugas PPKI sebagai panitia perisapan kemerdekaan dapat dimulai pada 25 Agustus 1945.
Keinginan itu disetujui Terauchi. Artinya, dalam konteks mistisisme tidak ada kehendak manusia yang ada pada sosok para tokoh waktu itu termasuk Sukarno memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sukarno ingin tugas PPKI baru dimulai pada 25 Agustus 1945. Dapat dinterpretasikan bahwa kehendak memproklamasikan kemerdekaan akan terjadi bisa pada 25 Agustus 1945 atau setelah itu.
Sebuah keadaan yang tidak pernah diketahui sebelumnya ternyata Jepang menyatakan menyerah kepada Sekutu 14 Agustus 1945 yang kemudian berita itu sampai di Indonesia satu hari sesudahnya.
Dalam waktu dua hari sejak 15 Agustus 1945 itulah terjadi “takdir” yang menentukan proklamasi kemerdekaan itu akhirnya terjadi pada Jumat Legi 17 Agustus 1945 yang bertepatan dengan tanggal 8 Ramadan 1367 Hijriah.
Dalam keyakinan mistisisme Islam, Ramadan adalah bulan suci. Dalam pandangan mistisisme Jawa hari Jumat itu artinya Sukra melambangkan munggah (bergerak ke atas). Sedangkan pasaran Legi maknanya adalah banyak cita-cita dan optimis.
Jadi, 17 Agustus 1945 dalam pandangan mistisisme bukanlah peristiwa yang terjadi secara kebetulan. Dalam konsep mistisisme yang di dalamnya merupakan pandangan penyatuan dengan Tuhan maka 17 Agustus 1945 esensinya adalah kehendak Tuhan dengan segala makna kuasa adikodrati yang dikandung dalam peristiwa itu.
Kalimat Sakti
Coba renungkan juga apa mistisisme dalam teks proklamasi kemerdekaan? Dalam naskah teks proklamasi itu awalnya hanya ditulis tangan oleh Sukarno dalam secarik kertas seadanya. Pemilihan kalimat juga penuh mistis. Ada dua kalimat yang sakral, yaitu frasa “pemindahan kekuasaan” dan “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya”.Pertanyaannya, sampai sekarang (79 tahun Indoenesia merdeka) ini, mana fakta sejarah tentang pemindahan kekuasaan itu? Kekusaan dari siapa dan dipindahkan kepada siapa? Tidak ada fakta sejarah satu pun adanya pemindahan kekuasaan.
Sekutu yang menang perang dan berhak atas bekas jajahan Jepang, yaitu Indonesia, tidak pernah menyerahkan kekuasaan kepada Indonesia. Peristiwa Perjanjian Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Konferensi Meja Bundar (KMB, 1949) bukanlah pemindahan kekuasaan karnea hanya pangakuan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) dan bukan Indonesia.
Pada 14 Juni 2023, Perdana Menteri Belanda Mark Rutte mewakili pemerintah Belanda secara resmi mengakui kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pernyataan itu disampaikan Mark Rutte ketika menjawab pertanyaan anggota parlemen dari Partai Groen Links, terkait pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia.
Selama hampir delapan dekade, Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia didapatkan pada 27 Desember 1949, pada saat penandatanganan pengakuan kedaulatan di Belanda. Itu bukanlah pemindahan kekausaan.
Jadi, betapa saktinya kalimat pemindahan kekuasaan dalam teks proklamasi itu yang sampai sekarang tidak ada peristiwanya, tetapi Indonesia tetap eksis sebagai negara yang berdaulat. Kemudian pertanyaan tentang kapan “dalam tempo yang sesingkat-singkatnya itu”?
Tidak ada peristiwa pemindahan kekuasaan berarti waktu yang dimaksud sesingkat-singkatnya juga tidak terjadi. Enam pekan pascaproklamasi kemerdekaan, tentara Sekutu mendarat di Jawa, yaitu 29 September 1945, dan kedatangan Sekutu itu terlambat karena api revolusi sudah berkobar di seluruh penjuru Nusantara.
Dalam pandangan mistisisme, proklamasi kemerdekaan tidak akan terjadi tanpa unsur penyatuan dengan kehendak Tuhan. Betapa peristiwa proklamasi kemerdekaan dan teks proklamasi kemerdekaan itu sebuah anugerah dari Yang Mutlak.
Jangan pernah kita sebagai pewaris kemerdekaan Indonesia berkhianat, bahkan melakukan kejahatan, kepada bangsa sendiri. Terutama para pemimpin negeri ini harus mewarisi nilai-nilai kepahlawanan para tokoh kemerdekaan.
Jangan menjadi pemimpin yang jahat secara politik dan jahat secara ekonomi kepada bangsa sendiri. Ketika para pemimpin jahat kepada bangsa sendiri, secara mistisisme mereka melawan Tuhan dan akan dikutuk oleh sejarah.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 16 Agustus 2024. Penulis adalah dosen di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret)