Kemunculan perempuan kepala daerah memang telah terjadi sejak bertahun-tahun lalu, bahkan negeri ini pernah dipimpin presiden perempuan. Realitas ini belum menghilangkan realitas diskriminasi pada perempuan dalam urusan akses dan partisipasi politik.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Perubahan ambang batas pencalonan kepala daerah berbasis putusan Mahmakah Konstitusi Nomor 60 Tahun 2024 membuka ruang dan akses yang lebih luas bagi partai politik dalam mengusung kader atau figur yang didukung konstituen, terutama perempuan di berbagai daerah.
Partai politik harus memaknai ketentuan baru ini bukan dengan sekadar gimik atau pertimbangan tak substansial. Kemunculan tiga perempuan kandidat gubernur di Jawa Timur itu harus dimaknai sebagai awal yang baik, yaitu partai politik benar-benar memperhitungkan kualitas dan kredibibilitas perempuan dan memberi ruang luas bagi partisipasi politik mereka.
Partai politik harus memanfaatkan penurunan ambang batas pencalonan di pilkada itu untuk mendukung kemunculan perempuan kandidat kepala daerah berbasis politik gagasan dan program yang kuat.
Kedewasaan partai politik memanfaatkan ruang lebih luas dalam pencalonan di pilkada bagi kemunculan perempuan akan menghadirkan makna substansial bagi upaya yang lebih besar menguatkan keterwakilan perempuan di politik secara substansial.
Mayoritas parlemen daerah masih menghadapi persoalan minimnya keterwakilan perempuan atau dengan kata lain tak pernah sampai 30%. Keterwakilan perempuan di ranah eksekutif bisa menjadi penyeimbang signifikan untuk mengatasi masalah ini.
Dari Jawa Timur pada pilkada serentak 2024 kita juga bisa belajar perihal bagaimana kepemimpinan perempuan menunjukkan relasi kuat terhadap pembangunan yang juga berpihak kepada perempuan.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022-2023 atau selama masa kepemimpinan Khofifah Indar Parawansa, indeks pemberdayaan gender (IPG) di Provinsi Jawa Timur termasuk tinggi, yaitu sebesar 74,42 dan 74,90, selalu berada di atas Jawa Tengah dan Jawa Barat yang dipimpin laki-laki meski memang angkanya masih di bawah DKI Jakarta.
Angka IPG DKI, menurut data BPS, memang paling tinggi dibanding semua provinsi di Indonesia karena seperti yang kita tahu industrialisasi dan pemerintahan berpusat di wilayah tersebut.
Dengan indeks pemberdayaan gender yang tinggi, harapan kita semua adalah secara linear akses perempuan dalam pembangunan, termasuk pembangunan politik, akan jauh lebih terbuka lebar.
Ini semua bisa terwujud dengan catatan partai politik bersikap terbuka dan yang tak kalah penting meminimalisasi akrobat kotor dalam bentuk representasi perempuan yang berbasis keluarga di belakangnya (bisa dalam bentuk istri pemimpin sebelumnya, anak pemimpin sebelumnya, keluarga dekat, dan sejenisnya).
Intervensi keluarga jelas akan membuat representasi perempuan dalam politik menjadi representasi semu yang pada ujungnya akan membentuk pemberdayaan perempuan yang semu pula.