by Redaksi - Espos.id Kolom - Sabtu, 6 Juli 2024 - 09:55 WIB
Protes dan penutupan sementara festival kuliner nonhalal itu memunculkan kontroversi dengan berbagai sudut pandang. Ada yang mendukung kelompok pemrotes. Banyak pula yang mengecam kelompok pemrotes.
Memang ada yang harus ditelaah secara kritis dari peristiwa itu agar duduk perkara jelas, tidak melebar ke mana-mana, dan publik punya pemahaman yang holistik dan konkret. Tentu dengan tetap memberi ruang untuk berbagai sudut pandang.
Menelaah urusan kuliner—makanan dan minuman—mensicayakan sudut pandang agama sebagai wacana yang katakanlah paling mendasar pada individu-individu beragama, sudut pandang kesehatan, sudut pandang kebudayaan, sudut pandang ekonomi, dan lain sebagainya.
Dengan berbasis aneka sudut pandang itu, telaah dan analisis tidak boleh lepas dari realitas bahwa festival kuliner pecinan itu dengan gamblang dideklarasikan sebagai festival kuliner nonhalal.
Artinya penyelenggara telah memberikan batasan jelas bahwa festival tersebut hanya untuk warga, hanya untuk individu-individu, yang memiliki kebebasan mengonsumsi kuliner nonhalal.
Tentu saja term “halal” dalam konteks protes terhadap festival kuliner pecinan itu dengan tinjauan yang jelas pula, yaitu tinjauan dari syariat Islam.
Atas dasar itulah, protes dan keberatan yang berujung penghentian sementara festival kuliner nonhalal itu sebenarnya tidak perlu. Lain persoalan apabila penyelenggara festival kuliner pecinan tersebut tidak terang-terangan mendeklarasikan acara sebagai festival kuliner nonhalal.
Nah, apabila ini yang terjadi sah ketika kelompok masyarakat yang memeluk keyakinan atau agama yang melarang mengonsumsi makanan nonhalal memprotes atau setidaknya mempertanyakan penyelenggaraan festival itu karena bisa saja di antara mereka ada yang salah persepsi, salah masuk, dan kemudian salah makan atau salah minum.
Kenyataannya kemungkinan itu telah ditutup rapat. Itu tidak mungkin terjadi. Penyelenggara telah dengan gamblang menjelaskan jati diri festival itu. Publikasi sejak beberapa hari sebelum penyelenggaraan festival jelas menyebut dan menjelaskan bahwa itu festival kuliner nonhalal.
Harus diapresiasi kebijakan otoritas di Pemerintah Kota Solo yang mengizinkan penyelenggaraan festival kuliner pecinan itu, termasuk tetap mengizinkan dilanjutkan ketika diprotes sekelompok warga dan kemudian dihentikan sementara.
Kebijakan tersebut sejalan dengan keniscayaan melindungi ekspresi budaya kuliner yang dalam perspektif lebih luas memang menjadi bagian dari ekspresi budaya kalangan minoritas—nonmuslim dan etnis Tionghoa.
Pemahaman tentang keyakinan—termasuk ajaran agama—dan batasan-batasan konsumsi makanan berbasis keyakinan itu seharusnya tidak diberlakukan secara membabi buta untuk orang atau kelompok lain yang tidak tercakup dalam keyakinan atau batasan-batasan itu. Ini bagian penting dari toleransi dan menghormati keberagaman.