Hakim di Pengadilan Negeri Boyolali menyatakan dua remaja itu terlibat penganiayaan seorang remaja yang berujung remaja korban penganiayaan itu meninggal dunia.
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Dua remaja itu menganiaya remaja tersebut bersama dua laki-laki dewasa yang kini juga sedang menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Boyolali.
Proses hukum hingga vonis untuk dua remaja itu berlangsung cepat karena status mereka masih tergolong anak-anak, belum berumur 18 tahun, sehingga proses hukum yang berjalan berpedoman pada proses hukum untuk anak yang berhadapan dengan hukum.
Penganiayaan yang berakibat seorang remaja meninggal dunia itu terjadi dalam “semangat korps perguruan silat”. Pelaku dan korban penganiayaan sama-sama warga sebuah perguruan silat di Kabupaten Boyolali.
Peristiwa tindak kekerasan atau penganiayaan oleh anggota perguruan silat kepada sesama anggota perguruan, kepada anggota perguruan silat lain yang dianggap musuh, atau kepada orang yang tak ada kaitan dengan perguruan silat karena ketersinggungan telah terjadi berkali-kali.
Kejadian seperti itu pernah terjadi di banyak wilayah yang menjadi basis perguruan-perguruan silat. Proses hukum cepat yang dilaksanakan Polres Boyolali hingga vonis yang dijatuhkan hakim di Pengadilan Negeri Boyolali layak diapresiasi sebagai ikhtiar membangun efek jera.
Dua remaja itu memang masih tergolong anak karena belum berumur 18 tahun. Tentu keprihatinan mendalam yang mengemuka karena mereka yang masih anak-anak itu harus menjalani hukuman pidana.
Sistem pidana anak harus dijalankan dengan baik sehingga hak mereka mendapatkan pendidikan formal hingga tuntas tetap terpenuhi di tengah keterbatasan menjalani hukuman pidana.
Yang tak boleh dikesampingkan adalah tanggung jawab perguruan silat. Perguruan silat yang menjadi tempat beraktivitas para remaja itu tak boleh lepas tanggung jawab.
Pengelola perguruan silat termpat dua remaja itu dan seorang remaja korban penganiayaan hingga meninggal dunia berguru harus menerima konsekuensi pula.
Setidaknya, yang paling minimal, pengelola perguruan silat itu segera mengevaluasi sistem pelatihan dan sistem komunalisme di perguruan itu. Mengapa sistem pelatihan dan komunalisme di perguruan silat itu memunculkan arogansi yang berujung tindak kekerasan?
Banyak lembaga, perkumpulan, atau perguruan bela diri yang tak sekalipun memunculkan warga yang arogan dan suka berbuat kekerasan.
Setidaknya pengelola perguruan silat itu bisa belajar pada pengelola perguruan bela diri lainnya yang mampu “mendidik” warganya menjadi berbudi pekerti luhur, setidaknya tidak arogan dan tidak suka berbuat kekerasan, walau punya “kesaktian”.
Perguruan silat, sebagai pelestari warisan budaya bangsa dalam wujud seni bela diri, semestinya menjadikan pembekalan tentang integritas diri, keluhuran budi pekerti, kerendahhatian sebagai bagian penting menggembleng warganya. Arogansi bukanlah karakter bela diri pencak silat.