kolom
Langganan

Mega Mistika - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Syifaul Arifin  - Espos.id Kolom  -  Minggu, 4 Agustus 2024 - 20:12 WIB

ESPOS.ID - Syifaul Arifin (Solopos/Istimewa)

Dalam live Tiktok “Cek Khodam”, talent menjawab pertanyaan dari netizen yang bertanya siapa khodamnya. “Ahmad Muhajidin kosong, Ayu ada khodam Rawa Rontek ya, Sari kosong, Roma Arliani ada khodam, khodam Nyi Blorong, dia akan hadir menggunakan keris ya ketika ada hal yang mengancam tubuh kamu.”

Wah, cek khodam belakangan ini viral. Saya kurang tahu apakah betul mereka yang bertanya itu percaya soal khodam atau hanya untuk lucu-lucuan. Khodam berasal dari bahasa Arab yang artinya pembantu, penjaga, dan pengawal. Dalam konteks ini, khodam berarti makhluk halus yang selalu menjaga kita. Tak terlihat. Apakah riil? Mana saya tahu. Kok tanya saya…

Advertisement

Teman saya di kantor malah memplesetkan, khodam yang paling relevan saat ini ya Kodam IV/Diponegoro. Ya betul, kan, tentara itu pengawal dan penjaga keamanan negeri ini.

Orang Indonesia cenderung percaya kepada hal-hal seperti ini karena dianggap relate dengan apa yang diyakini masyarakat di sekitarnya. Soal makhluk halus, tahayul, dan sejenisnya adalah sesuatu yang akrab di masyarakat. Film horor di bisokop selalu dipenuhi oleh penonton. Karena itu sesuatu yang relevan dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka terbiasa dengan dunia gaib.

Advertisement

Orang Indonesia cenderung percaya kepada hal-hal seperti ini karena dianggap relate dengan apa yang diyakini masyarakat di sekitarnya. Soal makhluk halus, tahayul, dan sejenisnya adalah sesuatu yang akrab di masyarakat. Film horor di bisokop selalu dipenuhi oleh penonton. Karena itu sesuatu yang relevan dengan kehidupan mereka. Mungkin mereka terbiasa dengan dunia gaib.

Di zaman artificial intelligence (AI) atau kecerdasan buatan, soal yang gaib-gaib itu memang masih payu. Masyarakat Indonesia dan mungkin di negara lain masih ada yang percaya dengan itu. Walau demikian, sebagian masyarakat menyebut itu sebagai takhayul dan khurafat. Takhayul adalah sesuatu yang sifatnya khayalan atau kepercayaan kepada sesuatu yang dianggap sakti.

Sedangkan khurafat ada kaitannya dengan takhayul, yaitu dongeng yang tidak masuk akal; tak didukung bukti nyata.  Baik takhayul dan khurafat ada hubungannya. Yang tergolong khurafat adalah cerita atau dongeng, rekaan, ramalan, dan sejenisnya. Contoh khurafat adalah keyakinan jika ada burung gagak yang melintas pertanda ada orang yang akan meninggal.

Advertisement

Tan Malaka tergolong peletak dasar republik ini. Dia tak seterkenal Soekarno atau Hatta. Tetapi dia orang jenius, revolusioner, yang awal menyebut Indonesia merdeka.  Tulisan karyanya antara lain Massa Actie (Aksi Massa) dan Madilog. Dia mengkritik pola pikir masyarakat yang percaya ada hal-hal gaib di lingkungannya. Pola pikir masyarakat masih dalam tahap logika mistika. Kalau takhayul mewabah, masuk ke berbagai lapisan masyarakat secara massif, berarti namanya mega mistika.

Ini yang dikritik Tan Malaka pada zaman pergerakan. Percaya takhayul dan khurafat  menjadi penghalang Indonesia merdeka.  Tan Malaka menilai kolonialisme bertahan karena masyarakat menganggap tak mungkin ada perubahan kecuali datang Ratu Adil. Jika masyarakat hanya berdoa dan menunggu perubahan tetapi tidak bergerak, kemerdekaan takkan datang. Yang terjadi, menurut Tan Malaka, orang Indonesia sabar dan bertahan dengan kemiskinan, tetapi masih menanggung pajak yang besar.

Dia menggambarkan berapa ratus ribu rakyat Indonesia meringkuk dengan perut kosong di balai-balai setiap hari saat melepas lelah. Mereka tak diperhatikan pemerintah. Padahal pemerintah selalu menarik pajak dan menggarong sumber daya alam. “Pemerintah punya catatan angka-angka yang lengkap tentang kebun-kebun dan perusahaan yang menguntungkan, terutama nama-nama orang yang wajib membayar pajak, tetapi lupa memberi kepastian tentang penghidupan rakyat seluruhnya,” demikian tulis Tan Malaka dalam Aksi Massa.

Advertisement

Berpikir rasional adalah kunci. Buang jauh-jauh pikiran takhayul itu. Ada juga pandangan serupa dari Mochtar Lubis. Dia wartawan sekaligus budayawan. Harian Indonesia Raya yang dia pimpin pernah melakukan investigasi korupsi di Pertamina. Dia juga menulis sejumlah novel antara lain Jalan Tak Ada Ujung, Tidak Ada Esok, Tanah Gersang,  Senja di Jakarta, Maut Dan Cinta, dan  Harimau! Harimau!.

Pada 6 April 1977 di Taman Ismail Marzuki, Mochtar Lubis menyampaikan pidato kebudayaan berjudul Manusia Indonesia. Dalam pidato itu, dia menyebut karakteristik orang Indonesia, yang kemudian memicu kontroversi, menimbulkan pro dan kontra. Karakteristik orang Indonesia itu adalah hipokritis dan munafik,  enggan bertanggung jawab atas perbuatannya, berjiwa feodal,  percaya takhayul, artistik, dan watak yang lemah.

Karakter nomor empat yaitu percaya takhayul ini menurut Mochtar Lubis tak lepas dari kebudayaan dan tradisi Bangsa Indonesia. Mereka masih percaya benda-benda disembah untuk memperoleh berkah. Ada kekuatan pada pohon, keris, dan benda-benda lain. Tentu saja karakter seperti ini negatif.

Advertisement

Pandangan Tan Malaka dan Mochtar Lubis ini masih relevan di zaman sekarang. Kalau dulu, Tan Malaka menyebut takhayul dan suka mistik akan menghalangi kemerdekaan dan kemodernan Indonesia, hal itu bisa digunakan untuk zaman sekarang yang sudah merdeka. Kebodohan, takhayul, tak berpikir berbasis sains akan menghalangi rakyat untuk mendapatkan jaminan hak asasi dan kesejahteraan.

Saya kutip tulisan Tan Malaka dalam bab Khayalan Revolusioner” dalam buku Aksi Massa. “Marilah kita pergunakan pikiran yang ‘rasional’ sebab pengetahuan dan cara berpikir yang begitu adalah tingkatan tertinggi dalam peradaban manusia dan tingkatan pertama buat zaman depan. Cara berpikir yang rasional membawa kita kepada penguasaan atas sumber daya alam yang mendatangkan manfaat, dan pemakaian yang benar — kepada cara pemakaian itu makin lama makin bergantung nasib manusia. Hanya cara berpikir dan bekerja yang rasional yang dapat membawa manusia dari ketakhayulan, kelaparan, wabah penyakit dan perbudakan, menuju kepada kebenaran.

Kolom ini dimuat di Koran Solopos edisi 5 Juli 2024

Advertisement
Syifaul Arifin - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif