Lawu Jazz Festival pada 14 dan 15 September 2024 adalah event musik yang diselenggarakan di lereng Gunung Lawu dengan mengangkat tema Harmoni Alam, Gunung, dan Air.
Konser dengan sejumlah penampil yang tidak semuanya bergenre jazz itu berlokasi di objek wisata Wonderpark, Blumbang, Tawangmangu, Karanganyar. Acara ini dimeriahkan beberapa musikus ternama di negeri ini.
Promosi BRI Klasterku Hidupku Dorong Pemberdayaan Perempuan lewat Usaha Tani di Bali
Ini adalah penyelenggarakan kali pertama Lawu Jazz Festival yang diproyeksikan menjadi event akbar tahunan di lereng Gunung Lawu atau tepatnya di Kabupaten Karanganyar.
Musik—yang tak sepenuhnya jazz—berpadu dengan kesejukan alam dan pemandangan indah menyajikan pengalaman konser yang pasti tak terlupakan!
Lawu Jazz Festival harus dimaknai lebih daripada sekadar konser atau pergelaran musik di lokasi yang tak biasanya. Acara yang baru kali pertama digelar ini harus dimaknai sebagai potensi membangun simpul pengembangan aglomerasi Soloraya.
Aglomerasi adalah istilah yang digunakan dalam studi geografi untuk menggambarkan fenomena ketika terdapat konsentrasi atau akumulasi aktivitas ekonomi, populasi, dan infrastruktur di suatu daerah tertentu.
Konsep ini membantu para ahli dan peneliti memahami pola perkotaan, perkembangan wilayah, dan distribusi populasi di suatu wilayah geografis. Aglomerasi dapat dilihat sebagai suatu bentuk pengelompokan atau kumpulan yang terjadi secara alami atau disengaja.
Sangat naïf ketika memaknai Lawu Jazz Festival sekadar sebagai pertunjukan musik yang kebetulan diselenggarakan di kawasan Gunung Lawu di wilayah Kabupaten Karanganyar.
Pemaknaan demikian harus disebut naïf karena hanya berujung pemaknaan dan pemahaman ini konser yang tak berbeda dengan konser di De Tjolomadoe, konser di Benteng Vastenburg, konser di Pamedan Pura Mangkunegaran, konser di Alun-alun Klaten, konser di Alun-alun Kidul Boyolali, dan sejenisnya.
Lawu Jazz Festival harus dimaknai sebagai potensi strategis untuk membangun sinergi wisata dan seni pertunjukan di kawasan Soloraya.
Pemberdayaan dan pengembangan Lawu Jazz Festival pada penyelenggaraan berikutnya layak dikolaborasikan dengan potensi di daerah lain di Soloraya.
Kolaborasi yang paling mudah, tentu saja, ihwal ketersediaan penginapan bagi penonton dan artis penampil yang meniscayakan Kota Solo menjadi lokasi terbaik.
Ketika meninjau siapa penggemar dan penonton Lawu Jazz Festival niscaya akan sampai pada peta yang sangat jelas bahwa mereka adalah orang-orang yang rela pergi lintas daerah demi menikmati musik—khususnya jazz—di lokasi-lokasi yang tak jamak.
Lihatlah keberhasilan penyelenggaraan Dieng Jazz Festival, Bromo Jazz Festival, Prambanan Jazz Festival, dan Ngayogjazz yang berhasil mendatangkan ribuan penonton dari banyak daerah.
Dalam konteks pewujudan dan pemberdayaan aglomerasi Soloraya acara seperti Lawu Jazz Festival mestinya memancing setiap pemangku kebijakan di Soloraya menjadikan event ini sebagai simpul penghubung aneka potensi wisata dan ekonomi di kawasan Soloraya.
Hanya butuh kejelian, kecerdasan, dan imajinasi menangkap dan memaknai acara demikian ini sebagai potensi untuk berkembang bersama.