Esposin, SOLO – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan ada 43 pasangan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah yang tersebar di berbagai wilayah yang akan melawan kotak kosong pada pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2024.
KPU memperpanjang masa pendaftaran calon kepala daerah di sejumlah daerah yang hanya terdapat satu pasangan calon pendaftar. Tampaknya itu sia-sia. Bagaimana mau mendaftar kalau seluruh rekomendasi partai politik sudah mengusung dan mendukung satu pasangan calon tersebut?
Promosi Didukung BRI, Usaha Pisang Sale Mades di Parigi Sulteng Makin Berkembang
Skenario munculnya calon kepala daerah melawan kotak kosong memang berembus jauh-jauh hari sebelum pendaftaran calon kepala daerah dibuka. Salah satu motor dari suburnya fenomena kotak kosong dalam pilkada 2024 adalah Koalisi Indonesia Maju (KIM).
Ini koalisi partai politik pengusung calon presiden Prabowo Subianto dan calon wakil presiden Gibran Rakabuming Raka pada pemilihan presiden 2024. Pasangan ini terpilih. Koalisi partai politik ini semakin gemuk setelah ada tambahan kekuatan dari partai lain, seperti Partasi Nasdem, PKB, dan PKS.
Koalisi ini belakangan disebut KIM Plus. Motor utama dari fenomena calon kepala daerah tunggal tidak hanya koalisi KIM Plus. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) juga menjadi aktor yang berbeda. Di beberapa daerah, seperti Kota Surabaya dan Kabupaten Ngawi, Jawa Timur, pasangan petahana yang diusung PDIP juga menjadi calon tunggal.
Partai politik yang tergabung dalam KIM Plus merapat untuk mendukung calon tersebut. Satu pasangan calon dari koalisi gemuk itu bahkan diusung oleh belasan partai politik, seperti di Kota Surabaya.
Di kota ini pasangan calon wali kota dan calon wakil wali kota Eri Cahyadi-Armuji diusung 18 partai politik. Koalisi gemuk ini jelas merugikan masyarakat dalam memilih calon pemimpin daerah mereka. Masyarakat tidak diberi pilihan.
Kerap kali narasi yang dipakai politikus untuk merasionalkan koalisi gemuk adalah ”pembangunan membutuhkan kerja sama dari berbagai pihak”. Ini jelas argumentasi ngawur dan mengada-ada untuk menutupi kebusukan niat di balik koalisi gemuk. Entah deal politik hingga permainan jual-beli rekomendasi partai politik.
Angin Segar Demokrasi
Kebuntuan partai politik yang tidak bisa mengusung calon kepala daerah karena terganjal aturan ambang batas pencalonan sebesar 25% perolehan suara partai politik/gabungan partai politik pada pemilihan umum sebelumnya atau 20% kursi DPRD sebenarnya sudah terhapus setelah ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK).Putusan MK menghapus aturan itu dan memutuskan ambang batas pencalonan kepala daerah dari partai politik disamakan dengan ambang batas pencalonan kepala daerah di jalur independen seperti diatur pada Pasal 41 dan 42 Undang-undang tentang Pilkada.
Angin segar bagi demokrasi itu tentu disambut antusias masyarakat. Seharusnya partai politik juga menyambut putusan MK dengan suka cita karena mereka bisa mencalonkan kepala daerah secara mandiri tanpa tersandera drama politik di masing-masing daerah.
Nyatanya logika para elite partai politik berbeda dengan nalar masyarakat. Anggota DPR justru hendak menganulir putusan MK itu dengan cara membahas revisi Undang-undang tentang Pilkada. Langkah DPR itu mendapat reaksi negatif dari publik.
Gelombang protes massa dari berbagai daerah turun ke jalan mengawal putusan MK tersebut. Massa marah terhadap tingkah laku para anggota DPR dan penguasa yang ingin melanggengkan kekuasaan melalui berbagai rekayasa politik.
Desakan massa yang berlangsung selama beberapa hari, bahkan diwarnai kericuhan, akhirnya membuahkan hasil. DPR batal mengesahkan revisi Undang-undang tentang Pilkada. Partai politik yang akan bertarung di pilkada tidak perlu drama untuk mencari koalisi.
Tokoh yang memiliki integritas dan berkualitas di setiap daerah memiliki kesempatan bertarung di arena pilkada. Publik harus kembali menelan pil pahit karena ternyata tidak banyak partai politik yang memanfaatkan angin segar demokrasi itu.
Buktinya pilkada di puluhan daerah hanya diikuti pasangan calon tunggal. Fenomena maraknya pasangan calon tunggal melawan kotak kosong membuktikan demokrasi di Indonesia mundur. Proses demokrasi tidak berjalan baik.
Partai politik terbukti gagal dalam kaderisasi untuk mendapatkan calon pemimpin yang layak diajukan di arena pilkada. Demokrasi yang diperjuangan publik tidak dimanfaatkan secara tepat oleh elite partai politik.
Ada kecenderungan elite politik memang sengaja membunuh demokrasi hanya demi konsolidasi kekuasaan. Melihat berbagai peristiwa politik yang terjadi di negara ini, ada kecenderungan demokrasi memang sengaja dibunuh oleh para elite politik.
Menurut Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam buku Bagaimana Demokrasi Mati, langkah penguasa menumbangkan demokrasi memang sering kali terkesan legal, seperti menggunakan alat kekuasaan di parlemen, Mahkamah Agung, dan alat negara lain.
Seperti dalam kasus putusan MK tentang ambang batas pencalonan di pilkada, penguasa melalui tangan-tangan di parlemen ingin menganulir putusan itu supaya skenario politik busuk bisa terus berjalan.
Salah satu ciri lain pembunuhan demokrasi adalah penguasa sengaja memperkecil ruang oposisi dalam kontestasi pemilihan umum. Munculnya fenomena koalisi gemuk dan calon tunggal menjadi bukti ada skenario sistematis yang tidak ingin kehidupan demokratis berkembang.
Konsolidasi kekuasaan antarpartai politik dengan dalih demi kepentingan umum menjadi cara untuk mengelabui nalar publik. Untungnya, saat ini kesadaran publik terhadap politik terus bertumbuh meski selalu dikerdilkan penguasa.
Masifnya gerakan massa rakyat mengawal putusan MK menjadi salah satu bukti bahwa nalar publik masih waras. Terlebih gerakan itu juga didukung tokoh publik, artis, pesohor media sosial, yang peduli terhadap keberlangsungan kehidupan demokrasi di Indonesia.
Aksi demonstrasi itu juga membuktikan gerakan tersebut muncul karena kesadaran publik, bukan karena kepentingan partai politik tertentu.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 7 September 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)