by Dahlan Iskan - Espos.id Kolom - Rabu, 25 Maret 2020 - 22:48 WIB
Banyak sekali pertanyaan seperti ini: Mengapa angka kematian akibat Covid-19 begitu tinggi di Indonesia? Sampai 8 persen? Bahkan ada yang menyebut persentase kematian itu tertinggi kedua di dunia? Bahkan yang pertama?
Saya tidak setuju dengan cara menghitung seperti itu. Persentase itu terlihat tinggi karena diperbandingkan antara jumlah penderita dengan yang meninggal dunia. Di Italia persentasenya memang tinggi tapi ada penjelasan ilmiahnya. Demografi di Italia menunjukkan jumlah orang tua sangat besar. Terbanyak kedua setelah Jepang.
Sedang di Indonesia? Semua orang tahu. Demografi kita didominasi anak muda. Sampai muncul istilah Indonesia itu mendapat bonus demografi. Saya memilih, logikanya yang dibalik.
Sedang di Indonesia? Semua orang tahu. Demografi kita didominasi anak muda. Sampai muncul istilah Indonesia itu mendapat bonus demografi. Saya memilih, logikanya yang dibalik.
Berarti yang sudah mengidap Covid-19 di Indonesia kira-kira 800 orang. Tapi perhitungan saya ini juga hanya sebuah spekulasi. Jangan terlalu dipegang. Anggap saja ini sebuah kewaspadaan: bahwa kemungkinan besar banyak penderita yang masih beredar ke mana-mana.
Sebagai pendatang baru di grup Covid-19 sebenarnya kita punya keuntungan lebih. Tiongkok sudah berhasil mengatasinya. Tiongkok sudah tidak ”rakus” lagi akan peralatan pencegah Covid-19. Kamis (19/3) adalah hari pertama tidak ada lagi pasien baru di Wuhan. Sudah 0. Memang ditemukan penderita baru di tempat lain, tapi semuanya berasal dari luar negeri.
Dalam situasi menguntungkan seperti itu mestinya kita bisa meningkatkan angka penduduk yang dites. Agar semakin banyak diketahui siapa yang sebenarnya sudah tertular. Untuk segera dilakukan tindakan.
Kapasitas seperti itu yang tidak ada ketika awal-awal Tiongkok diserang wabah. Kini mereka sendiri sudah tidak perlu jumlah yang banyak. Mereka bisa sepenuhnya ekspor. Termasuk ekspor masker dan baju pelindung bagi dokter/perawat secara besar-besaran.
Dari segi ketersediaan fasilitas di pasar internasional kita diuntungkan.
Tes Covid Saya sendiri sangat ingin melakukan tes Covid. Saya adalah orang yang rawan terkena virus. Saya berada di kategori semua golongan yang rawan: saya tua, saya banyak di kerumunan, tiap hari saya minum obat justru untuk menurunkan kekebalan tubuh saya.
Tapi saya tahu kemampuan tes di RS kita sangat terbatas. Saya juga belum termasuk yang mendesak untuk tes: tidak ada tanda-tanda terkena Covid-19.
Biarlah peralatan test itu lebih diprioritaskan untuk mereka yang lebih membutuhkan. Yakni mereka yang sudah jelas ada tanda yang kuat --meski pun banyak juga yang terkena Covid-19 tanpa ada tanda-tanda.
”Abah akan lakukan tes hematologi darah lengkap untuk melihat leukosit dan limfosit. Jika leukosit dan limfosit Abah tinggi, berarti Abah harus mulai curiga. Kalau rendah, ok. Kalau tinggi Abah akan lanjut CT scan paru-paru. Untuk melihat apakah ada bercak atau tidak. Kalau tidak, ok.
Kalau ada bercak barulah berusaha lanjut ke tes Covid. Itu untuk kehati-hatian. Baiknya banyak orang melakukan itu agar tidak semua antre tes Covid yang akan tidak terlayani.
Rasanya cukup Abah sendiri saja dulu yang tes, kalau ada kecurigaan barulah anggota keluarga kita yang lain. Ok?”.
Anak Wedok saya pun mengirimkan petugas pengambil darah dari lab langganan saya. Hasilnya?
Bukan soal keterbukaan informasi tapi Anda sudah bisa menduga sendiri. (Dahlan Iskan)