kolom
Langganan

Kenaifan Media - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia | Espos.id

by Moh. Khodiq Duhri  - Espos.id Kolom  -  Minggu, 7 Juli 2024 - 09:55 WIB

ESPOS.ID - Moh. Khodiq Duhri (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO – Saya jarang menonton televisi atau TV akhir-akhir ini. Berbagai program TV saat ini tidak cukup untuk menarik perhatian saya. Pada era digital seperti sekarang ini, TV tidak lagi menjadi pilihan utama masyarakat sebagai referensi sumber informasi terkini.

Beberapa hari lalu, seakan-akan ada sesuatu yang menggerakkan saya untuk menekan tombol on pada remot TV di rumah saya. Di layar televisi itu saya menyaksikan berita tentang santriwati berusia 16 tahun yang dinikahi secara siri oleh pengasuh pondok pesantren di Lumajang, Jawa Timur.

Advertisement

Kasus ini ramai diperbincangkan publik baru-baru ini. Seorang peremmpuan presenter berita mewawancarai secara live ayah santriwati yang telah dinikahi secara siri itu.

Wajah dan nama ayah santriwati itu terpampang dengan jelas di layar televisi swasta dengan logo kepala burung garuda itu. Sejenak saya terdiam melihat wajah dan nama ayah sasntriwati yang terpampang jelas di layar televisi.

Saya masih belum percaya bagaimana bisa media televisi nasional itu begitu naif memunculkan nama dan wajah ayah santriwati yang dinikahi secara siri oleh pengasuh pesantren di Lumajang tersebut.

Advertisement

Saya memahami semangat media massa mengawal kasus itu. Memang menjadi tugas media massa (pers) untuk berpihak kepada korban. Bill Kovach dan Tom Rosenstiel dalam buku The Elements of Journalism menyatakan kesetiaan pertama seorang jurnalis harus diberikan kepada masyarakat.

Komitmen kepada masyarakat bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan kepada masyarakat adalah makna dari independensi jurnalis dan jurnalisme. Media massa (pers) sudah sepatutnya mengawal kasus ini hingga tuntas.

Harapannya, aparat penegak hukum mengambil sikap tegas dengan memberikan hukuman yang pantas kepada yang memaksa anak perempuan itu menikah. Perlu dipahami bahwa status santriwati yang dinikahi secara siri oleh pengasuh pesantren tersebut adalah anak-anak.

Advertisement

Konsekuensinya, pemberitaan tentang hal itu harus mematuhi pedoman pemberitaan ramah anak yang dirumuskan dan disosialisasikan Dewan Pers sejak 2019. Peraturan atau pedoman itu dibuat dengan memperhatikan prinsip bahwa anak-anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari pemberitaan negatif.

Tujuannya mereka tumbuh dengan wajar, hidup dalam lingkungan yang kondusif, dapat berkembang normal secara jasmani maupun rohani, dan dapat mencapai kedewasaan yang sehat.

Pedoman pemberitaan ramah anak dirumuskan dan diberlakukan karena sering kali anak menjadi objek eksploitasi media massa dengan menampilkan identitas anak berupa nama, wajah, alamat, alamat sekolah, dan lain-lain sehinga membuat hak, harkat, dan martabat anak tidak terlindungi.

Media penyiaran—sebagai bagian pers—juga kerap menampilkan sosok anak yang disamarkan menggunakan topeng atau wajah diblur, namun masih dapat dikenali ciri-cirinya, misalnya lewat suara atau gerakan-gerakan tubuh.

Mencermati pemberitaan tentang santriwati yang dinikahi secara siri dan sepihak oleh pengasuh pesantren, saya melihat ada upaya media massa (pers) melindungi anak dengan tidak menampilkan wajah dan nama secara jelas.

Sayangnya, mereka seakan-akan lupa bahwa identitas anak tidak sebatas nama dan wajah. Banyak media massa, tak hanya televisi, yang menampilkan alamat, bahkan wajah dan nama orang tua dengan jelas.

Itu tentu bertentangan dengan pedoman pemberitaan ramah anak yang dikeluarkan Dewan Pers. Dalam pedoman itu dijelaskan identitas anak yang harus dilindungi adalah semua data dan informasi tentang dan terkait anak.

Data dan informasi itu bisa memudahkan orang lain mengetahui siapa anak itu sebenarnya. Data dan informasi yang harus dilindungi, tidak boleh terekspose di media, itu meliputi nama, foto, nama kakak/adik, orang tua, paman/bibi, kakek/nenek, dan keterangan pendukung seperti alamat rumah, alamat desa, sekolah, perkumpulan atau klub yang diikuti, serta benda khusus yang mencirikan sang anak.

Benda khusus itu bisa berupa boneka, topi, atau aksesori pakaian yang biasa jadi atribut anak sehari-hari. Demi melindungi hak dan martabat anak, media massa dilarang menampilkan nama pelaku kejahatan seksual yang masih memiliki hubungan keluarga dengan anak yang menjadi korban.

Apabila pelaku tindak kejahatan seksual adalah paman dari anak yang menjadi korban, nama pelaku tidak boleh diungkap karena bisa menjadi celah publik untuk mengetahui identitas anak yang menjadi korban.

Lalu, apa yang harus dilakukan media massa apabila sudah telanjur menyalahi pedoman pemberitaan ramah anak? Dalam pedoman itu disebutkan apabila sudah telanjur diberitakan, wartawan harus segera menghentikan pengungkapan identitas anak.

Khusus media siber, berita yang menyebut identitas anak dan sudah dimuat harus diedit ulang agar identitas anak tidak diungkap. Sebelum disahkan Dewan Pers, pedoman pemberitaan ramah anak telah disepakati oleh komunitas pers Indonesia yang terdiri atas organisasi wartawan dan perusahaan media.

Wartawan maupun perusahaan media, perusahaan pers, harus menyadari pemberitaan tentang anak harus dikelola secara bijaksana. Ibarat jatuh, masih tertimpa tangga. Begitu kira-kira penggambaran nasib anak yang jadi korban pernikahan siri secara sepihak itu.

Dalam usia yang masih belia, dia harus mengandung anak. Anak buah pernikahan secara siri yang dilakukan secara sepihak pula. Beban psikis anak perempuan itu semakin berat tatkala menyadari namanya kini tidak hanya menjadi bahan pergunjingan tetangga, tapi juga masyarakat luas.

Pemberitaan tentang kasus yang dialami anak perempuan itu begitu masif di media massa dengan memunculkan sosok wajah ayahnya. Setiap perusahaan media tentu memiliki cara pandang dan dialektika yang berbeda.

Walakin, sesuatu yang niatnya baik belum tentu berakhir baik. Niat menolong mestinya tidak berakhir dengan menyakiti. Semangat media massa mengawal kasus itu hingga tuntas tidak boleh mengesampingkan upaya melindungi hak, harkat, dan martabat sang anak yang berstatus korban pemaksaan menikah dini.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 5 Juli 2024. Penulis adalah Manajer Program Solopos Media Group)

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif