by Alief Sutantohadi - Espos.id Kolom - Kamis, 17 November 2022 - 20:31 WIB
Esposin, SOLO -- Baru-baru ini marak diberitakan di beberapa media cetak maupun elektronik tentang tindak kekerasan yang terjadi di sebuah perguruan tinggi di Kota Palembang pada masa orientasi bagi mahasiswa baru yang bertempat di luar kampus.
Pada tahun sebelumnya terjadi pula tindak kekerasan di sebuah perguruan tinggi ternama di Kota Solo pada saat orientasi anggota baru unit kegiatan mahasiswa resimen mahasiswa.
Boleh jadi masih banyak kasus serupa yang terjadi di banyak perguruan tinggi lainnya yang tidak terekspose di media masa. Dari beberapa kasus kekerasan di kampus, tampaknya ada kemiripan dari kasus satu dengan lainnya, yaitu waktu dan pelaku terjadinya tindak kekerasan.
Berdasar waktu terjadinya, kekerasan biasa terjadi saat kegiatan orientasi bagi para mahasiswa baru. Sedangkan pelaku tindak kekerasan sering kali mahasiswa senior. Praktik kekerasan pada masa orientasi studi bagi mahasiswa baru sebenarnya bukan hal baru.
Berdasar waktu terjadinya, kekerasan biasa terjadi saat kegiatan orientasi bagi para mahasiswa baru. Sedangkan pelaku tindak kekerasan sering kali mahasiswa senior. Praktik kekerasan pada masa orientasi studi bagi mahasiswa baru sebenarnya bukan hal baru.
Pengelola kampus juga tak kurang upaya meminimalisasi terjadinya hal tersebut. Tampaknya sering kali masih ada celah-celah yang luput dari pantauan otoritas kampus yang memungkinkan timbulnya tindak kekerasan di kampus maupun pada kegiatan di luar kampus.
Sebenarnya potensi terjadinya kekerasan di lingkungan kampus tidak selalu dalam bentuk kekerasan fisik, namun juga dalam bentuk verbal atau bahkan kekerasan seksual. Apabila kita menelusuri pemberitaan di beberapa media online, sepatutnya kita prihatin dengan banyaknya kasus kekerasan seksual di beberapa institusi perguruan tinggi.
Terkadang mahasiswa bisa melakukan tindakan yang tidak sesuai norma dan etika tanpa berpikir panjang akan akibatnya. Sedangkan faktor dari lingkungan adalah mahasiswa terkadang tinggal di rumah indekos yang jauh dari pengawasan orang tua.
Pihak kampus dan masyarakat sekitar juga menjadi faktor yang memungkinkan terjadi tindak kekerasan seksual. Berbicara lebih jauh tentang pencegahan dan penanganan tindak kekerasan seksual, saat ini menjadi topik hangat yang menjadi perhatian khusus pemerintah dan masyarakat.
Kementerian Pendidikan Kubudayaan Riset dan Teknologi juga menempatkan topik ini sebagai program prioritas. Sebagai bentuk perhatian dan kepedulian terhadap tindak kekerasan seksual di perguruan tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) ditetapkan dan diberlakukan.
Bab IV Pasal 23 ayat (1) peraturan menteri tersebut mewajibkan setiap institusi perguruan tinggi membentuk Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual atau Satgas PPKS selambat-lambatnya satu tahun setelah peraturan menteri itu diundangkan.
Kita tidak boleh menutup mata bahwa kebutuhan akah hadirnya Satgas PPKS yang bertanggungjawab melaksanakan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus memang benar-benar mendesak. Hal ini dapat saya rasakan dari pengalaman saat menangani kasus yang terindikasi terjadi tindak kekerasan seksual di kampus.
Belum genap satu pekan menerima surat tugas sebagai anggota Satgas PPKS, saya dan rekan-rekan langsung menyosialisasikan kepada para mahasiswa baru di tingkat jurusan dan fakultas.
Belum tuntas melaksanakan sosialisasi bagi mahasiswa baru, satuan tugas menerima dan harus menindaklanjuti laporan dari beberapa mahasiswa tentang perbuatan kawannya yang terindikasi sebagai bentuk kekerasan seksual.
Terlepas dari siap atau belum siap, menjadi tugas dan kewajiban satuan tugas menerima dan menindaklanjuti setiap aduan yang diterima. Salam situasi ini seolah-olah bisa dikatakan sebagai learning by doing, setiap anggota Satgas PPKS belajar sambil secara langsung menangani aduan tindak kekerasa seksual.
Dari sekelumit cerita tersebut ada beberapa pesan penting yang hendak saya sampaikan. Pertama, masyarakat kampus sangat membutuhkan saluran dan unit yang siap menerima dan menindaklanjuti aduan dari korban maupun saksi yang melihat terjadi tindak kekerasan seksual di kampus.
Kedua, perlu sosialisasi dan edukasi secara intensif bagi segenap warga kampus dari unsur pendidik, tenaga kependidikan, dan mahasiswa agar memahami dan memiliki komitmen untuk bersama-sama peduli dan melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual.
Ketiga, menilik respons beberapa mahasiswa yang dengan segera langsung mengadukan bentuk kekerasan yang mereka terima atau saksikan kepada satuan tugas, ada indikasi bahwa kekerasan seksual di kampus ibarat puncak gunung es.
Maksudnya kasus yang muncul di permukaan dan dilaporkan besar kemungkinan baru sebagian kecil dari kasus yang tidak terungkap dan tersimpan rapat yang hanya diketahui pelaku dan korban. Kenapa demikian? Karena melaporkan tindak kekerasan seksual sesungguhnya tidaklah mudah.
Korban butuh keberanian untuk melapor karena informasi yang disampaikan sedikit banyak akan membuka aib yang menimpanya. Belum lagi apabila pelaku adalah pihak yang memiliki kuasa, tentu perlu kehati-hatian dalam penanganan agar laporan tidak berbalik kepada korban.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan yang dimiliki, kehadiran Satgas PPKS diharapkan mampu menciptakan kampus sebagai lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan terbebas dari tindak kekerasan seksual.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 12 November 2022. Penulis adalah Ketua Satgas PPKS Politeknik Negeri Madiun)