kolom
Langganan

Kampus Seni di Persimpangan - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Aris Setiawan  - Espos.id Kolom  -  Selasa, 16 Juli 2024 - 12:55 WIB

ESPOS.ID - Aris Setiawan (Istimewa/Dokumen pribadi)

Esposin, SOLO – Pada 15 Juli 2024 Institut Seni Indonesia (ISI) Solo merayakan ulang tahun ke-60. Momentum penting untuk melakukan refleksi diri dan evaluasi atas perjalanan panjang yang telah dilalui.

Sebagai institusi pendidian seni, ISI Solo kini berada di persimpangan jalan krusial terkait rencana perubahan status dari satuan kerja (satker) menjadi badan layanan umum (BLU).

Advertisement

Transformasi ini memberikan kemandirian lebih besar dalam pengelolaan keuangan sehingga kampus seni ini diharapkan lebih fokus dalam mencapai tujuan, misi, dan visi.

Perubahan status ini menjadi titik pijak baru bagi ISI Solo menjadi kampus seni unggul. Dengan status BLU, ISI Solo dapat mengembangkan berbagai program yang lebih inovatif dan responsif terhadap kebutuhan zaman.

Di balik optimisme ini terdapat tantangan yang tidak kalah penting, yaitu memenuhi tuntutan meningkatkan jumlah mahasiswa berkualitas. Sayangnya, upaya meningkatkan jumlah mahasiswa ini masih terkendala cakupan lokalitas yang kuat.

Advertisement

Banyak jurusan berbasis pada konservasi tradisi, seperti tari tradisi, etnomusikologi, pedalangan, teater tradisi, karawitan, keris, dan batik. Ini masih terkooptasi oleh ruang cakupan berbasis Jawa.

Ini menyebabkan penerimaan mahasiswa terbatas di wilayah Jawa. Sulit membayangkan calon mahasiswa Kalimantan atau Papua memilih studi karawitan di ISI Solo karena musik tersebut tidak eksis di tempat asal mereka.

Di samping perubahan status menjadi BLU, ISI Solo juga harus menghadapi persaingan antarprogram studi yang semakin ketat. Program studi berbasis pelestarian tradisi harus bersaing dengan program studi yang lebih afirmatif seperti televisi dan film, desain komunikasi visual, dan desain interior.

Persaingan ini menciptakan tantangan tersendiri karena program studi berbasis tradisi cenderung mengalami penurunan jumlah pendaftar setiap tahun. Program studi berbasis pelestarian tradisi kurang menarik bagi calon mahasiswa karena dianggap tidak relevan dengan kebutuhan industri kreatif masa kini.

Advertisement

Program studi televisi dan film atau desain komunikasi visual seolah-olah menawarkan peluang karier lebih luas sehingga lebih diminati. Realitas ini menyebabkan program studi berbasis konservasi senantiasa menjadi bulan-bulanan dalam persaingan mendapatkan mahasiswa baru.

Oleh karena itu, ISI Solo perlu melakukan rebranding dan memperkuat citra program studi berbasis tradisi agar lebih relevan dengan perkembangan zaman. Diperlukan konstruksi kurikulum yang lebih adaptif.

Kurikulum tersebut harus mampu menampung segala lapisan sosial tanpa terpengaruh sekat budaya. Dengan demikian, ISI Solo dapat menarik minat mahasiswa dari berbagai daerah, bahkan dari mancanegara, untuk belajar dan mengembangkan seni tradisi (dan terutama kontemporer).

Pengembangan kurikulum adaptif juga diiringi dengan promosi lebih terarah. ISI Solo perlu memperkenalkan diri sebagai institusi yang tidak hanya fokus pada seni tradisi Jawa, tetapi juga sebagai pusat kajian seni universal.

Advertisement

Dengan pendekatan ini calon mahasiswa dari luar Jawa dapat melihat potensi dan kesempatan di ISI Solo sehingga tertarik mendaftarkan diri dan mengembangkan bakat seni mereka.

Menyingkir di Pinggir

Ironisnya, sebagai bagian dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi, ISI Solo harus bersaing dengan kampus-kampus besar seperti Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Indonesia (UI), Universitas Airlangga (Unair), Universitas Sebelas Maret (UNS), dan lainnya.

Persaingan ini tidak mudah mengingat keterbatasan sarana dan prasarana serta jumlah mahasiswa. Jangankan masuk di jajaran 10 besar kampus terbaik di Indonesia, masuk dalam 100 besar saja merupakan prestasi monumental.

Advertisement

ISI Solo senantiasa menghadapi kesulitan apabila ukuran-ukuran pencapaian  disamakan dengan kampus umum, cenderung berpijak pada data kuantitatif seperti jumlah publikasi, jumlah mahasiswa, jumlah sarana-prasarana, dan jumlah lulusan (belum lagi jumlah besaran uang kuliah tunggal atau UKT).

Sebagai institusi pendidikan seni, ISI Solo memiliki karakteristik dan tujuan berbeda yang tidak selalu tercermin dalam metrik-metrik konvensional. Seni memiliki dimensi kualitatif lebih dalam dan kompleks, sering kali tidak dapat dibaca dengan angka semata.

Ketika penilaian terhadap institusi pendidikan didominasi ukuran-ukuran matematis, kampus-kampus seni seperti ISI Solo kerap kali berada pada posisi kurang menguntungkan.

Misalnya, jumlah publikasi ilmiah yang dihasilkan dosen dan mahasiswa seni tidak sebanyak institusi berlabel universitas. Ini bukan karena kurangnya kualitas atau produktivitas, tetapi lebih karena sifat karya seni yang berbeda, lebih banyak diungkapkan melalui pertunjukan, pameran, dan karya kreatif lainnya daripada melalui artikel ilmiah.

Selain itu, jumlah mahasiswa di kampus seni tentu lebih sedikit dibandingkan dengan kampus umum. Pendidikan seni cenderung membutuhkan perhatian lebih intensif dan personal dengan kelas lebih kecil dan bimbingan lebih mendalam.

Hal ini membuat jumlah mahasiswa yang diterima dan dilayani oleh ISI Solo tidak sebanyak kampus-kampus besar. Dampak pendidikan yang diberikan tetap signifikan, terutama dalam konteks pelestarian dan pengembangan seni.

Advertisement

Keterbatasan jumlah sarana dan prasarana juga menjadi tantangan tersendiri bagi ISI Solo. Fasilitas yang dibutuhkan institusi seni sering kali spesifik dan memerlukan investasi besar, seperti studio seni, ruang pertunjukan, dan peralatan khusus.

Dibandingkan dengan kampus umum yang bisa lebih fleksibel dalam alokasi ruang dan fasilitas, kampus seni harus berjuang lebih keras untuk menyediakan lingkungan belajar memadai bagi mahasiswa dan dosen.

Akibat pendekatan penilaian kuantitatif ini, ISI Solo dan kampus seni lainnya di Indonesia sering kali berada di posisi paling pinggir dalam "kompetisi atau kejuaraan" perguruan tinggi.

Mereka harus bersaing dalam kerangka yang tidak sepenuhnya adil dan tidak mencerminkan keunggulan serta kontribusi unik mereka dalam bidang seni dan budaya.

Untuk itulah, diperlukan pemahaman dan pendekatan lebih holistik dalam menilai prestasi dan kontribusi kampus seni yang menghargai dimensi kualitatif dan dampak jangka panjang dari pendidikan seni Indonesia.

Di tengah persaingan ketat ini, muncul harapan agar kampus seni bisa berada di bawah naungan kementerian lebih spesifik, seperti—katakanlah--Kementerian Kebudayaan. Dengan berada di bawah Kementerian Kebudayaan, ISI Solo diharapkan dapat lebih fokus menjalankan amanat konservasi seni dan didukung Undang-undang Pemajuan Kebudayaan.

Harapan lahirnya Kementerian Kebudayaan ini semakin menguat seiring pembentukan pemerintahan baru pada Oktober 2024. Dukungan dari Kementerian Kebudayaan bisa menjadi angin segar bagi ISI Solo dalam menjalankan tugas sebagai penjaga gawang tradisi.

Dengan demikian, momentum ulang tahun ke-60 ini seharusnya menjadi dorongan kuat bagi seluruh civitas academica ISI Solo untuk berbenah, berinovasi, dan menentukan posisi.

Tantangan harus dijawab dengan langkah konkret dan terukur. Hanya dengan demikian, ISI Solo dapat mewujudkan misi dan visi menjadi kampus seni yang mandiri dan mampu beradaptasi dengan perubahan zaman.

Perjalanan enam dekade ini perlu dijadikan landasan untuk menata masa depan lebih baik. Transformasi menjadi BLU harus diiringi dengan semangat inovasi dan inklusif agar ISI Solo mampu menjadi mercusuar pendidikan seni di Indonesia dan dunia. Semoga itu bukan sekadar jargon.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 15 Juli 2024. Penulis adalah etnomusikolog dan pengajar di ISI Solo)

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif