Esposin, SOLO – Berita menggembirakan berbunyi Kembalinya Popularitas Wayang Orang Sriwedari terbit di Solopos edisi 13-14 Juli 2024. Malamnya saya langsung menyambangi gedung tua di kompleks Taman Sriwedari itu untuk membuktikan kebenarannya.
Memang tidak salah. Gedung berisi 600 kursi penonton itu terisi setidaknya 150 mulai dari deretan kursi terdepan. Ingatan saya langsung berlari ke satu dasawarsa yang lampau, saat saya sering mengajak teman-teman bule dari Belanda atau Amerika Serikat menonton WO Sriwedari.
Promosi Konsisten Berdayakan UMKM, BRI Jadi Salah Satu BUMN dengan Praktik ESG Terbaik
Rata-rata kursi penonton hanya terisi belasan orang, bahkan saat beberapa kali saya mengajak keluarga, satu istri dan tiga anak, seingat saya penonton tidak sampai 40 orang.
Sangat menarik bin menggelitik memang membicarakan kitsch (seni tradisional yang dijajakan) bernama WO Sriwedari yang telah berusia lebih dari satu abad (didirikan pada 10 Juli 1910).
Dalam kurun waktu yang sekian lama itu, WO Sriwedari telah melawati banyak lakon kehidupan, bahkan terombang-ambing di banyak status yang menyisakan pertanyaan klasik dan klise.
Apakah sebagai seni dari kaum elite budaya (the art of the cultural elite), sebagai seni rakyat (folk art), sebagai seni populer (popular art), atau seni massa (mass art) sebagaimana dirumuskan Arnold Hauser dalam The Sociology of Art?
Yang jelas, jika WO Sriwedari mau dipertahankan dia harus menjawab tantangan tiga dimensi, yakni fisik, sosial, dan ideal, sebagaimana dirumuskan Koentjaraningrat (periksa: Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern, 1994).
Dimensi fisik merujuk pada konsumsi atau penggunaan berbagai barang produk kebudayaan baru. Dimensi sosial berkaitan dengan perubahan dalam relasi antarmanusia (tata pergaulan), pola tingkah laku dan “gaya hidup baru” sebagai akibat dari penggunaan produk kebudayaan baru tersebut.
Sedangkan dimensi ideal mencakup semua hal yang bersifat “abstrak” seperti metode, sistem dan proses, filsafat dan falsafah, cara berpikir dan bersikap, pandangan, norma-norma, tata nilai dan orientasi hidup yang mendukung dimensi fisik dan sosial kebudayaan.
Secara ringkas dan bernas budayawan Umar Kayam mengemukakan, sebagaimana WO Ngesti Pandawa, ternyata WO Sriwedari mengalami hal serupa, senasib dan sepenanggungan.
Betapa dua grup wayang orang legendaris itu kian hari kian terlunta-lunta, tak segera menemukan obat mujarab dan “dukun ampuh” untuk menyembuhkan sakit menuanya.
Budayawan kelahiran Ngawi itu menyodorkan postulat yang sederhana dan gampang dicerna. Sebuah teater kitsch, bakalan kaningaya, tak akan mencapai kesuksesan secara komersial, tanpa tampilan yang apik, inovatif, spektakuler, gemerlapan.
Teater kitsch, karenanya, mesti dikemas sebagai suatu komoditas buat suatu khalayak kota. Harus sanggup memuaskan selera populer orang banyak dan tidak kunjung capek dalam memberikan jawaban yang tepat terhadap apa yang disebut sebagai tuntutan zaman.
Akan halnya WO Sriwedari yang saya tonton sejak saya berusia akil balik hingga jambul-wanen ini, tak banyak mengalami perubahan. Bagaimanapun, sebagai produk seni, wayang orang memiliki sifat multilayers, meminjam istilah Marco de Marinis dalam The Semiotics of Performance.
Banyak lapis yang harus dipadukan, diharmoniskan. Okelah penari dan gerak tariannya, tata rias dan tata busananya, irama gamelannya masih berpegang teguh pada pakem klasik.
Kenapa tata panggung, geber (layar sebagai latar setiap adegan), nyaris tak ada perubahan alias yang dulu-dulu itu saja. Lima belas tahun yang lampau saat melawat ke China, di sebuah desa di wilayah Suzhou, saya sangat terpukau saat disuguhi sebuah teater kitsch (sebutlah sebagai ketoprak China) dengan lakon Sampek Engtay.
Betapa teknologi modern dipergunakan dengan sangat menakjubkan saat itu sehingga penonton dari berbagai bangsa berdecak kagum. Bagaimana spektakulernya saat Sampek dan Engtay terbang menjelma kupu-kupu
Pada akhir pertunjukan seorang bule yang duduk di sebelah saya bertanya: bagaimana Anda memaknai kisah itu? Spontan saya jawab dengan eskapisme seperti itu maka cinta keduannya menjadi abadi.
Alangkah menakjubkan jika WO Sriwedari mampu menyuguhkan Gatotkaca yang lagi terbang di awang-awang, timbul tenggelam di antara mega-mega. Niscaya WO Sriwedari akan menjadi teater kitsch yang kaya akan spectacle dan glamour.
Dream Merchants
Saya kira WO Sriwedari membutuhkan peran dream merchants bertangan dingin, seperti Teguh saat memimpin Srimulat, seperti Siswondo di grup ketoprak Siswa Budaya. Setidaknya membutuhkan bapak angkat atau maesenas yang mumpuni dan penuh welas asih.Bukan untuk tujuan komersial semata, tapi lebih sebagai upaya mulia menjaga kelestarian seni pertunjukan tradisional warisan leluhur. Untuk itu siapa lagi yang hendak kita harapkan selain di pundak Pemerintah Kota Solo.
Saya sangat iri jika menonton teater-teater kitsch di negara-negara Asia yang lain, seperti di China, Thailand, Jepang. Di negara-negara itu pemerintah terus menjaga kelestarian budaya peninggalan leluhur. Kenapa kita tidak?
WO Sriwedari bagaimanapun bukan Robinson Crusoe, tokoh novel bikinan Daniel Defoe. Sastrawan Budi Darma yang pernah menguliti habis novel karya penulis dan jurnalis Amerika itu akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Robinson Crusoe tak pernah benar-benar sendirian dalam pengembaraan.
Ada budak bernama Friday, sebagai temannya. Crusoe tak mungkin hidup sendiri terus-menerus, apalagi dalam jangka waktu yang panjang. Begitu pula, WO Sriwedari tak mungkin harus hidup sendirian terus-menerus dalam jangka waktu yang panjang.
Ia membutuhkan teman setia, membutuhkan bapak angkat yang memiliki kesanggupan mengayomi. Bukan hanya masyarakat yang welas tanpa alis, artinya memiliki kecintaan tapi tak memiliki kesembadaan untuk menghidupi.
Kota Solo saat ini boleh berbangga hati memiliki aneka taman yang indah, dua keraton yang indah, tapi jika kemudian kehilangan grup wayang orang, grup ketoprak, panggung-panggung mungil pergelaran keroncong, maka ibarat orang kaya yang memiliki banyak patung indah, namun tak ada yang memiliki roh.
Pertanyaan pungkasan, adakah kita sudah puas dan berbangga hati memiliki WO Sriwedari yang mampu bertahan hingga usia 114 tahun? Sebuah kebanggaan yang akhirnya akan luntur, lambat namun pasti dan akhirnya raib seperti media-media cetak kita, seiring perjalanan waktu dan gempuran zaman.
Percayalah, itu yang bakal terjadi jika kita semua cuek-bebek terhadap berita bagus yang diunggah Solopos di awal tulisan ini. Selebihnya, tanyakan saja kepada Pak Kasur, si pencipta lagu Potong Bebek Angsa, yang dinarasikan: sibuk dan tergiur dengan serong ke kanan, serong ke kiri, tralala, lala, lala, lala, lala…
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 9 September 2024. Penulis adalah doktor kajian seni, esais, dan budayawan)