Gagal jantung secara awam sering dikenal dengan jantung bengkak, merupakan akhir dari setiap gangguan yang terjadi pada jantung manusia, baik diakibatkan sebagai akibat penyakit jantung koroner, tekanan darah tinggi, penyakit jantung katup, gangguan irama, kelainan jantung bawaan, hingga penyakit yang berhubungan dengan metabolik seperti diabetes, gangguan fungsi gondok dan gagal ginjal.
Promosi Melalui Pemberdayaan, BRI Angkat Potensi Klaster Buah Kelengkeng di Tuban
Penyakit gagal jantung sangat mudah untuk diketahui secara awam dengan gejala berupa mudah lelah bila beraktivitas, mudah sesak, dan kadang disertai dengan adanya pembengkakan di tungkai bawah sebagai akibat dari kegagalan sirkulasi darah.
Dari sisi kejadian gagal jantung, ternyata menurut penelitian berbasis registri oleh ASIAN-HF study, menempatkan Indonesia menjadi negara dengan kasus kedua terbanyak setelah China. Lebih dari 900-1000 pasien yang mengalami gagal jantung per 100.000 populasi, dimana angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan angka prevalensi gagal jantung yang dirilis oleh Kementrian Kesehatan melalui riskesdas di tahun 2013 (0.3% dari seluruh populasi Indonesia).
Kematian dalam 1 tahun pasien gagal jantung pun, Indonesia masih menduduki posisi puncak dengan 34.1% kematian dalam 1 tahun, jauh diatas rata-rata negara Asia Pasifik.
Hal tersebut tentunya sangat memprihatinkan, mengingat data dari penelitianHF ACROSSASIA, bahwa penderita gagal jantung di Indonesia didominasi oleh populasi dengan usia yang lebih muda, dengan tanda gejala yang jauh lebih buruk saat pertama kali didiagnosis.
Terdapat beberapa tantangan yang menjadikan gagal jantung di Indonesia menjadi beban kesehatan yang semakin lama semakin besar apabila tidak ditanggulangi secara kolaboratif dengan baik. Dari sisi pasien, masih banyak masyarakat yang kurang memperhatikan kesehatan saat sudah terdapat faktor risiko seperti diabetes, hipertensi dan kolestrol.
Hal ini diakibatkan karena tingkat pendidikan masyarakat yang belum merata mengenai pentingnya menjaga kesehatan, serta kultur masyarakat yang baru akan memeriksakan diri bila sudah ada keluhan saja. Selain itu, akses terhadap layanan kesehatan yang berkulitas juga masih sangat terbatas akibat sebaran geografis dokter yang tidak merata serta kesenjangan ekonomi yang mengakibatkan keterbatasan akses terhadap fasilitas kesehatan. Hal ini sebenarnya bisa dan telah ditanggulangi dengan akses kesehatan melalui jaminan kesehatan nasional seperti BPJS kesehatan, sehingga masyarakat tidak perlu enggan untuk berobat karena permasalahan biaya.
Dari sisi fasilitas kesehatan primer dan perifer, keterbatasan kemampuan diagnosis gagal jantung menjadi tantangan tersendiri, akibat bervariasinya tingkat literasi hingga keterbatasan alat bantu diagnostik. Hal ini diyakini dapat tertangani dengan semakin gencarnya Kementerian Kesehatan untuk mendistribusikan bantuan alat bantu diagnostik seperti stetoskop, alat ultrasonografi (USG), elektrokardiografi (EKG) hingga alat-alat yang lebih canggih seperti ekokardiografi, CT scan, dan MRI.
Di sisi lain, nilai klaim rawat jalan dan rawat inap dari jaminan kesehatan nasional masih memerlukan perbaikan agar lebih dapat memberikan layanan yang paripurna oleh fasilitas kesehatan. Hal ini telah dan sedang terus diselesaikan melalui pendekatan komprehensif dan kolaboratif dari pemerintah, stakeholders, dan semua pihak terkait.
Poin ini menjadi penting agar institusi kesehatan dapat melakukan prosedur diagnostik dan terapeutik sesuai dengan pedoman dunia terkini yang telah melalui proses penelitian. Akibat dari permasalahan tersebut, pendekatan gagal jantung secara komprehensif dan kolaboratif multiprofesional merupakan solusi yang tepat.
Klinik Gagal Jantung yang digagas oleh Kelompok Kerja Gagal Jantung dan Kardiometabolik, Pengurus Pusat Persatuan Dokter Kardiovaskular Indonesia (InaHF-Carmet PP PERKI), telah menjadi solusi bagi kerumitan permasalahan dalam manajemen gagal jantung di Indonesia. Klinik tersebut secara data nasional, telah dapat menurunkan angka rehospitalisasi atau rawat kembali dan kematian akibat perburukan gagal jantung, melalui peningkatan penggunaan dan optimalisasi obat gagal jantung sesuai pedoman nasional dan dunia.
Klinik gagal Jantung ini telah mengubah paradigma perawatan gagal jantung, seperti peningkatan kepatuhan minum obat melalui edukasi masif oleh perawat khusus klinik gagal jantung. Namun, dibalik kesuksesan program ini, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan, salah satunya untukmenciptakan rujukan yang tepat sasaran ke klinik gagal jantung yang tersebar di Indonesia.
RS UNS memiliki salah satu Klinik Gagal Jantung yang terafiliasi pada InaHF-Carmet PP PERKI. Klinik ini telah beroperasional penuh selama 5 tahun, dipimpin oleh dr. Irnizarifka, SpJP(K) dan Dr. dr. Habibie Arifianto, SpJP(K).
Sejak diresmikan pada 12 Agustus 2019 dan menjadi klinik gagal jantung pertama dan satu-satunya di Jawa Tengah, klinik ini telah melayani pasien dengan gagal jantung bukan hanya di Solo-raya, namun juga menerima rujukan dari seluruh Jawa Tengah dan bagian barat Jawa Timur.
Klinik Gagal Jantung RS UNS juga memiliki beberapa program sebagai wujud corporate social responsibility, diantaranya registri besar (CORE-HF) yang hasilnya selalu dipublikasikan dalam secara ilmiah di setiap tahunnya, pertemuan bi-annual Heart Failure Networking system bersama seluruh PPK-1 di Solo-raya, serta seminar awam (Heartalk).
Dengan usia yang telah genap 5 tahun pada hari ini, Klinik Gagal Jantung RS UNS terus berkomitmen untuk dapat menyelenggarakan pelayanan dan pendidikan yang lebih baik terkait gagal jantung.
Artikel ini ditulis oleh dr. Irnizarifka, SpJP, SubSp.Ar(K), FIHA, FAPSC, FAsCC, FHFA dan Dr. dr. Habibie Arifianto, SpJP(K), M.Kes, FIHA