kolom
Langganan

Bangsa yang Malas Berpikir - Espos Indonesia dari Solo untuk Indonesia

by Lukmono Suryo Nagoro  - Espos.id Kolom  -  Selasa, 9 Juli 2024 - 12:55 WIB

ESPOS.ID - Lukmono Suryo Nagoro (Solopos/Istimewa)

Esposin, SOLO – Pada pengujung jabatan sebagai Wali Kota Solo, pada 20 Oktober 2024 akan dilantik menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia, Gibran Rakabuming Raka diundang oleh SD Al Firdaus Solo.

Dalam acara itu Gibran menceritakan pengalaman memimpin dan membangun Kota Solo. Selayaknya acara seminar atau belajar di kelas, ada tanya jawab biar ramai. Seorang siswa kelas V bertanya kepada Gibran.

Advertisement

”Dalam menjadi pemimpin diperlukan wawasan luas dan pengalaman yang banyak. Mas Gibran saya perhatikan masih muda sudah menjadi pemimpin dan dipercaya serta disukai oleh warga, yang awalnya jadi Wali Kota akan menjadi Wakil Presiden. Saya ingin meneladan jejak Mas Gibran. Saat ini sampai jenjang berikutnya, apa yang harus kami siapkan untuk menjadi pemimpin cerdas, muda, bijak, dan disenangi warganya?” begitu pertanyaan siswa itu.

Gibran mengaku kesulitan menjawab pertanyaan tersebut. Gibran juga mengaku masih belajar menjadi pemimpin. Singkatnya, ketika menjadi pemimpin dan memiliki anak buah, pastikan anak buah bekerja dengan baik.

Gibran memiliki cara yang unik untuk mengetahui anak buah bekerja dengan baik atau tidak. Gibran mempunyai tim yang tidak terlihat yang mengawasi anak buah itu bekerja dengan baik atau tidak serta sesuai dengan arahan atau tidak.

Advertisement

Ketika menelaah jawaban Mas Gibran ini saya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saya sendiri. Saya kebingungan menelaah makna tentang tim tidak kelihatan dan bagaimana pelajar SD Al Firdaus Solo mengasosiasikannya.

Gaya komunikasi setiap pemimpin memiliki ciri khas masing-masing. Proklamator bangsa Indonesia, Ir. Soekarno, menyukai rapat umum. Dia sangat suka dikelilingi rakyat yang dicintai.

Di panggung, Soekarno bebas berbicara apa saja. Bisa memprovokasi. Bisa melawak seperti Donald Trump. Fasih menyitir ucapan tokoh-tokoh besar dengan tujuan mempertontonkan kedalaman pengetahuan.

Presiden kedua, Soeharto, juga punya gaya khas. Soeharto pernah bertemu dengan anak SD, yang kemudian bertanya,”Mengapa presiden di Indonesia cuma satu padahal Indonesia sangat luas?”

Advertisement

Soeharto menjawab secara panjang lebar, bahkan konstitusional, bahwa presiden di Indonesia hanya satu, kemudian membandingkan dengan keadaan di rumah, yaitu bapak sebagai pemimpin rumah tangga hanya satu.

Jawaban Soeharto yang ikonik adalah,”Kenapa kamu tanya begitu? Heh? Kenapa? Siapa yang suruh, siapa? Hahahaha..... Karena hanya ingin tahu saja?”

Ketika mengetik ulang ucapan Soeharto itu jemari saya gemetar membayangkan kuatnya kekuasaan Soeharto waktu itu. Sebagai anak kecil yang pernah tumbuh dengan hiburan hanya TVRI, salah satu yang saya kenang malah acara kelompencapir.

Itu singkatan dari kelompok pendengar, pembaca, dan pemirsa. Kelompencapir diinisiasi Menteri Penerangan Harmoko. Kelompencapir adalah persamuhan nelayan dan petani berprestasi di Indonesia dalam format cerdas cermat dan temu wicara.

Advertisement

Tujuannya mendekatkan nelayan dan petani dengan pemerintah. Kelompencapir ini merupakan salah satu program pemerintah yang berhasil karena Indonesia dapat berswasembada beras sehingga mendapat pujian dari FAO.

Format temu wicara demikian adalah bentuk pertemuan penguasa dan rakyat yang disukai Soeharto. Dalam kelompencapir, tidak akan muncul pertanyaan yang bernilai “subversif dan kritis” seperti yang diajukan oleh anak SD tersebut.

Pertanyaan yang diajukan kepada Soeharto pasti sudah diseleksi sedemikian rupa. Jawaban Soeharto tidaklah berisikan teori yang ndakik-ndakik, tetapi nasihat seorang bapak kepada anak (baca: petani dan nelayan).

Dengan format demikian, apa pun jawaban Soeharto tidak akan didebat atau dipertanyakan. Soeharto merasa dilayani dengan baik karena kelompencapir ini pertunjukan keinginan dia menjadi seorang raja tanpa kekolotan.

Advertisement

Format berikut khas Presiden Joko Widodo, yaitu blusukan. Ketika blusukan, Presiden Jokowi bebas berbicara dengan pedagang, nelayan, dan petani, bahkan para pengangguran.

Ia berargumen blusukan bertujuan mengetahui masalah dari akar sehingga bisa menemukan solusi yang tepat. Blusukan ala Jokowi ini memiliki “keistimewaan”, selalu ada bantuan sosial, pembagian sertifikat tanah, dan pembagian kartu program-program khusus.

Pada masa sekarang, bantuan tersebut penting karena pada masa depan bisa ditukar menjadi suara. Format rapat umum, kelompencapir, maupun blusukan memiliki satu persamaan: antara presiden dan rakyat—lebih tepatnya raja dan kawula—tidak akan berdebat.

Dalam rapat umum, rakyat hanya mendengar agitasi atau lawakan penguasa. Dalam kelompencapir, Soeharto mengidentifikasikan diri sebagai raja dan kelompok petani nelayan tersebut adalah kawula.

Dalam blusukan yang disertai pembagian bantuan itu, bisa dikatakan Presiden Jokowi sebagai patron dan rakyat sebagai klien. Selain itu, ketiganya juga menghasilkan fan berat sehingga mereka tidak akan mengkritik junjungan mereka.

Fan berat ini sekali lagi bukan massa rakyat yang kritis, melainkan massa rakyat yang sudah dijinakkan melalui roti (bantuan sosial) dan sirkus (joget gemoy).  Akhirnya, mereka menjadi fan berat yang tidak mau berpikir.

Advertisement

Pola-pola komunikasi itu merupakan sedikit contoh bahwa memang kebiasaan berpikir dan berdebat belum ada di negeri kita ini. Definisi kelompencapir menyatakan bahwa masyarakat Indonesia belumlah menjadi warga negara.

Mereka masih kawula dan klien. Jika warga negara pasti kita tidak hanya menjadi pendengar, pembaca, dan pemirsa, tetapi berpendapat dan mengkritik. Sepertinya di negara ini sedang berlaku bahwa kritik terbaik adalah kritik yang tidak disampaikan.

Moral story pola komunikasi para pemimpin negara makin ke sini makin hanya memperhatikan rakyat sebagai pemilih. Bukan komunikasi yang mencerdaskan rakyat.

Meskipun baru berumur 12 tahun atau kelas V SD, mereka adalah pemilih pemula pada 2029. Apalagi pada saat bertanya, mereka ingin meneladani Mas Gibran. Inilah sekelumit potret pemilih pemula masa depan Indonesia yang dalam proses deliberasi atau menimbang-nimbang disuguhi pola kepemimpinan yang tidak kelihatan tadi.

Lalu mereka akan menimbang-nimbang ketika para calon pemimpin menyatakan biar rakyat yang menentukan. Rakyat yang menentukan ini frasa ampuh bin ajaib sekaligus menunjukkan kemalasan berpikir ”tingkat dewa”.

Dalam suasana kebatinan antiberpikir atau anti-intelektualisme ini saya ingin membenarkan pendapat Gita Wiryawan yang dikemukakan dalam siniar Endgame.

Gita menyatakan ketakutan dirinya bahwa anak-anak muda pada masa depan telah terdidik atau terhipnotis bahwa apabila ingin mencapai posisi kepemimpinan dalam bidang apa pun yang penting adalah bisa joget, bukan melakukan intelektualisasi karena yang jago joget akan lebih viral.

(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 8 Juli 2024. Penulis adalah editor buku yang tinggal di Kota Solo)   

Advertisement
Ichwan Prasetyo - Jurnalis Solopos Media Group, menulis konten di media cetak dan media online.
Advertisement
Berita Terkait
Advertisement

Hanya Untuk Anda

Inspiratif & Informatif