Esposin, SOLO – Akun Ballerina Farm di Tiktok menjadi sorotan akhir-akhir ini, bahkan mengundang komentar pro dan kontra. Akun yang memiliki 9,7 juta pengikut di Tiktok tersebut menjadi perhatian lantaran menampilkan kehidupan keluarga Neelemen.
Keluarga itu memilih hidup di lahan pertanian mereka dan menjalani hidup slow living. Ballerina Farm adalah akun media sosial yang digunakan Hannah Neeleman. Dia eks balerina Juilliard School.
Promosi Kick Off Semarak HUT ke-129 BRI, Usung Tema Brilian dan Cemerlang
Itu sebuah sekolah balet terkenal di dunia. Hannah memutuskan meninggalkan impian sebagai balerina untuk menikah dengan Daniel Neeleman dan tinggal di kawasan pertanian di Pegunungan Utah.
Seperti akun bergaya istri tradisional lainnya, unggahan Hannah sering kali memiliki estetika seperti mimpi kebanyakan perempuan: menampilkan sosok Hannah dalam balutan gaun cantik di dapur modern sedang menyiapkan makanan menggunakan bahan-bahan yang bersumber dari halaman rumah untuk memberi makan keluarga besar.
Meski menjalani kehidupan pertanian tradisional, keluarga Neeleman tinggal di rumah bergaya modern dan memiliki perlengkapan rumah tangga modern pula. Ballerina Farm sebetulnya juga menjual aneka hasil pertanian seperti susu, daging, bunga, dan juga menjual perlengkapan dapur.
Produk-produk tersebut dijual secara online, dibungkus kemasan dan boks menarik sehingga membuat konsumen puas. Kehidupan yang ditampilkan Hannah menuai pandangan pro dan kontra.
Mereka yang pro berpendapat Hannah menjalani kehidupan impian sebagian besar perempuan, yaitu menjalankan peran ibu dan istri tradisional, mengurusi anak, rumah, dan suami tanpa harus memikirkan bekerja di luar rumah untuk menyokong finansial keluarga.
Pandangan kontra juga bermunculan. Banyak orang, terutama kaum perempuan, menyesalkan keputusan Hannah melepaskan impian sebagai balerina dan menukar dengan peran sebagai istri tradisional.
Pandangan kontra atas pilihan Hannah makin menguat setelah Times menurunkan tulisan tentang keluarga tersebut. Laporan itu menggambarkan kehidupan Hannah sebagai istri dan ibu konvensional yang mengurusi keluarganya dari A sampai Z tanpa bantuan asisten rumah tangga dan babysitter.
Hannah terkadang sangat sakit karena kelelahan sehingga dia bisa tidak bangun dari tempat tidur selama sepekan. Tulisan tersebut menggambarkan Hannah sebagai korban struktur keluarga misoginis dan patriarki.
Artikel itu juga menyebut pasangan itu kali pertama bertemu di pertandingan bola basket kampus. Daniel mengetahui bahwa dia akan mendapatkan penerbangan JetBlue dari kampung halaman mereka bersama di Salt Lake City ke New York dan berusaha keras untuk mendapatkan tempat duduk di sebelah Hannah.
Dua bulan setelah penerbangan JetBlue, pasangan itu menikah. Tiga bulan setelah itu, Hannah mengandung anak pertama mereka. Alhasil banyak warganet mengutuk Daniel Neeleman, suami Hannah, sebagai penyebab Hannah melepaskan impian sebagai balerina.
Di satu sisi secara finansial, Daniel mampu memberikan kehidupan yang lebih layak bagi Hannah. Daniel adalah salah seorang anak miliarder David Neeleman, pendiri maskapai penerbangan JetBlue.
Warganet seolah-olah lupa bahwa yang tersaji di media sosial bisa saja bukan penggambaran nyata kehidupan seseorang. Konten yang diunggah di media sosial bisa saja hanya bagian dari strategi pemasaran produk atau branding.
Di mata warganet, Hannah seperti mewakili sosok istri tradisional. Istri tradisional dianggap sebagai korban patriarki dan tidak punya banyak pilihan dalam menjalani kehidupan mereka.
Di mata saya, konten Ballerina Farm mengingatkan saya pada buku-buku karya Laura Ingalls Wilder. Buku-buku Laura Ingalls Wilder, salah satunya yang paling terkenal berjudul Little House on the Prairie, menggambarkan kehidupan keluarga petani pada abad ke-18.
Setelah dewasa, Laura menjadi istri tradisional. Laura hidup pada abad yang berbeda dengan Hannah. Pada masa itu sebagian besar perempuan memang masih menjalankan peran tersebut. Peran perempuan sebagai istri tradisional atau istri moderat selama ini memang masih jadi pembicaraan.
Masih banyak orang memiliki anggapan perempuan harus memilih peran sesuai kodrat mereka, yaitu menjadi ibu dan istri, agar anak tidak kekurangan kasih sayang. Sedangkan urusan pemenuhan kebutuhan finansial menjadi tanggung jawab laki-laki.
Banyak pula yang berpandangan bahwa perempuan seharusnya mandiri secara finansial, tidak bergantung pada pasangan hidup. Hal ini untuk mengantisipasi risiko kehilangan pasangan karena perceraian maupun kematian dalam perkawinan.
Urusan domestik dan pengasuhan anak merupakan tanggung jawab berdua suami istri, tidak dibebankan kepada si istri semata. Sebetulnya pemilihan peran ini hanya soal pilihan. Tinggal bagaimana kesepakatan yang dibangun dengan pasangan masing-masing.
Perkawinan ibarat kerja tim, sebaiknya komunikasikan pembagian peran dengan pasangan. Saya pernah bertemu perempuan karier yang dengan kesadaran penuh memilih menjadi ibu rumah tangga (IRT), namun dia tidak melepaskan impian memiliki penghasilan sendiri.
Sebelum memutuskan hal itu, dia telah mengomunikasikan dengan pasangannya dan membangun kesepakatan bersama.
“Saya tahu masa kanak-kanak tidak bisa diulang, jadi saya ingin mendidik anak dengan baik dengan pengetahuan dan pengalaman yang saya dapat selama berorganisasi di kampus dan di tempat kerja. Toh, setelah anak-anak dewasa, saya dapat kembali menghasilkan uang sendiri dengan bisnis yang saya rintis,” ujar dia saat saat bertemu untuk makan siang dengan saya.
Perlu disadari ini bukan perkara benar atau salah karena masing-masing pilihan tentu memiliki konsekuensi sendiri-sendiri. Apa pun pilihan, pastikan kita memilih dengan kesadaran sendiri, bukan atas dasar paksaan. Jalani pilihan tersebut dengan bahagia apa pun konsekuensinya.
Pilihan ini menjadi keputusan keliru bila terlahir atas dasar paksaan atau karena terlalu bucin pada pasangan sehingga akhirnya membiarkan hak pribadi terampas.
Keputusan yang diambil bukan karena kesadaran penuh pada akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan dan rasa tidak puas pada kemudian hari. Karena itu, pilihlah dengan bijak dan penuh kesadaran. Namaste.
(Esai ini terbit di Harian Solopos edisi 29 Agustus 2024. Penulis adalah Manajer Konten Solopos Media Group)